ImageKetika si A masih belum berharta, ia sering berkata,”Seandainya nanti saya kaya, maka saya akan gemar bersedekah”. Ternyata, setelah ia benar-benar menjadi kaya, ia enggan untuk bersedekah, tidak sebagaimana tekadnya ketika hartanya masih sedikit.

Ketika si B menjadi maba di sebuah kampus dan harus menjalani perpeloncoan yang bergaya feodal, maka beberapa tahun ketika ia telah meraih posisi kepanitiaan acara yang sama, ternyata ia pun mengulangi perpeloncoan bergaya feodal yang dahulu ditentangnya habis-habisan.

Ada seorang mahasiswa yang sangat kesal dengan sikap dosen-dosennya yang sangat menindas, feodal, dan sulit diajak kerjasama. Beberapa tahun setelah ia lulus dan berprofesi sebagai sebagai dosen, ternya ia mengulangi gaya dosen-dosennya dahulu, yang suka menindas, feodal, dan sulit diajak kerjasama.

Ketika si D belum menjadi pejabat, ia senantiasa kritis terhadap kebijakan para pejabat yang tidak berpihak pada kebenaran dan keadilan. Ia pun memiliki tekad yang besar bahwa kalau ia menjadi pejabat maka ia akan memberantas segala praktek yang tidak benar. Ketika ia benar-benar menjadi pejabat, ternyata tekadnya yang dahulu itu sirna entah kemana. Ia pun mengulangi atau kurang lebih sama dengan para pejabat yang dahulu, yang senantiasa ia kritisi itu.

Lalu, siapa yang salah kalau sudah begini? Apa yang salah disini?

Konon, bangsa kita [Indonesia] termasuk bangsa pelupa. Bagaimana tidak, sudah merasa kenyang dipimpin oleh seorang presiden yang jelas-jelas tidak sukses, giliran Pilpres berikutnya masih saja ada (baca: banyak) yang masih memilih sang mantan presiden yang kini jadi capres lagi itu. Walah-walah, apa tidak ada yang lainnya? Apa diantara sekian ratus juta anak bangsa ini, tidak ada capres lain yang lebih layak, lebih pantas dan lebih menjanjikan?

Rasulullah mengingatkan, seorang mukmin tidak akan terjerumus dua kali kedalam lubang yang sama. Kalau kita terus menjadi pelupa, tentunya tidak hanya dua kali kita akan jatuh ke lubang yang sama, tapi berkali-kali. Orang Jawa pasti akan bilang,"Lha wis bolak-balik kok ora kapok-kapok?"

Dalam kamus bahasa Jawa, lawan dari kata 'lupa' adalah 'eling'. Kalau kita tidak ingin menjadi pelupa, berarti kita harus senantiasa 'eling'. Nah, agar kita semua bisa senatiasa 'eling' rasa-rasanya perlu ada 'Gerakan Eling Nasional'. Ide bagus kan? Tapi kira-kira bagaimana formatnya?