Dalam dekade terakhir ini, terjadi banyak sekali bencana alam dan musibah di negeri kita. Banjir yang mematikan di Wasior, juga banjir “langganan” di Jakarta. Awan panas Gunung Merapi, tsunami di Aceh, tsunami di Mentawai, dan masih banyak lagi yang lainnya.

ImageAda beberapa hal yang bisa kita maknai dari berbagai macam bencana dan musibah tersebut. Pertama: Allah menurunkan bencana untuk menunjukkan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya. Agar kita merenungi betapa besarnya kekuasaan Allah, dan betapa besarnya nikmat Allah kepada kita. Gunung baru batuk saja, sudah meluluhlantakkan segenap yang ada di sekelilingnya. Lautan, digoncang sedikit saja, sudah menyapu segenap daratan yang ada didekatnya. Bagaimana jika – naudzu billah - Allah melakukan lebih dari itu? Betapa nikmat Allah selama ini teramat besar. Allah masih menahan lautan agar tenang dan kita bisa berlayar dan mengambil ikan serta kekayaan laut lainnya. Demikian juga Allah masih menahan gunung-gunung pada tempatnya, sehingga bisa menjadi pasak-pasak bumi, dan membuat bumi yang kita pijak ini menjadi kokoh. Hendaknya kita segera bersimpuh dihadapan kebesaran dan keagungan Allah. Marilah kita contoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw ketika beliau mendapati gerhana. Yang beliau lakukan adalah melakukan sholat, sebagai bentuk pengagungan terhadap Allah SWT.

Kedua: Terjadinya bencana bisa bermakna bahwa Allah menjewer kita, memperingatkan kita, agar kita beristighfar, bertaubat, dan berbenah diri. Jika tidak sekadar menjewer, niscaya bumi dan segenap isinya sudah hancur tanpa sisa dan tanpa bekas. Allah SWT berfirman dalam QS Fathir: 45: “Dan  kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan apa yang mereka lakukan, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk melata pun. Akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu. Maka apabila datang ajal mereka, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.”

Kalau Allah masih mau menjewer kita, itu artinya Allah masih sayang kepada kita. Justru yang lebih kita takutkan adalah ketika Allah akan membiarkan kita. Itulah yang disebut dengan istidraj, sebagaimana yang Allah pernah lakukan terhadap Fir’aun.

Jeweran Allah terhadap kita adalah seperti jeweran orangtua terhadap anaknya yang masih kecil. Jeweran itu tidak lain kecuali agar si anak berubah menjadi lebih baik.

Dalam skup individu, kalau Allah sayang kepada kita maka Allah akan menimpakan ujian dan musibah kepada kita, seperti sakit, kehilangan, dan sebagainya. Yang demikian itu untuk memperingatkan kita, dan menghapus dosa-dosa kita.

Maka, setelah berkali-kali Allah menjewer kita, kita layak bertanya: Mengapa jeweran ini kok terus-menerus? Mengapa bencana tak kunjung selesai? Mengapa kita tidak kunjung bertaubat dan berubah menjadi baik? Mengapa korupsi dan kolusi di negeri ini seolah-olah tidak bisa dipangkas dan tidak jelas ujung pangkalnya, sulit diurai, mbulet, dan misterius.

Sama seperti anak kecil, kalau dia dijewer sekali kok belum berubah maka dia akan dijewer lagi. Tetapi kalau belasan kali atau bahkan puluhan kali dijewer kok belum berubah juga, itu namanya anak bebal, susah dinasihati, dan keras hati.

Bagaimanapun juga, marilah kita ber-husnudzon dengan jeweran-jeweran Allah. Semoga dengan berbagai macam bencana dan musibah yang menimpa, Allah hendak mengangkat derajat kita, mengentaskan kita dari kebobrokan, tapi dengan syarat: jika kita mampu melampaui ujian ini, yakni dengan kembali kepada Allah dan berbenah diri.

Semestinya kita sadar bahwa musibah atau bencana apapun bentuknya tidak akan pernah bisa dilepaskan dari perbuatan dan tingkah polah kita. Allah SWT berfirman, “Apa yang menimpamu berupa kebaikan maka itu adalah dari Allah, dan apa yang menimpamu berupa keburukan maka itu adalah dari dirimu-sendiri.” (QS An-Nisa’: 79). Allah SWT juga berfirman, “Dan apapun yang menimpa kalian berupa musibah maka itu adalah akibat perbuatan tangan-tangan kalian sendiri, dan agar Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS Asy-Syura: 30). Bahkan secara lebih tegas lagi Allah SWt berfirman, “Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan tangan-tangan manusia, agar Allah merasakan sebagian (akibat) dari apa yang mereka kerjakan, agar mereka mau kembali.” (QS Ar-Rum: 41)

Perbuatan dan tingkah polah kita yang mendatangkan musibah dan bencana pada dasarnya dua macam. Pertama, yang menyalahi sunnah kauniyah: merusak keseimbangan alam, seperti penggundulan hutan, pembalakan liar, buang sampah sembarangan, tidak mempedulikan tata ruang yang baik, dan sebagainya. Kedua, yang menyalahi sunnah syar’iyah: melanggar aturan-aturan Allah, yang haram diterjang saja, perintah wajib tidak dilakukan, kemaksiatan merajalela bahkan sudah dilakukan secara terang-terangan dan tanpa malu-malu lagi.

Sekarang mari kita tanya diri kita sendiri: apakah melakukan salah satu dari dua kesalahan itu, atau bahkan dua-duanya sekaligus? Mungkin ada yang menjawab: “Lho, saya tidak melakukannya.” Ya, mungkin Anda tidak melakukannya. Tapi bagamana dengan orang-orang di sekitar Anda?

Allah tidak akan menahan adzabnya hanya gara-gara masih ada segelintir manusia yang masih baik. Tetapi Allah bisa mengadzab karena KESALAHAN KOLEKTIF. KESALAHAN SUATU MASYARAKAT. KESALAHAN SEBUAH BANGSA. Dan dalam keadaan seperti ini, Allah tidak akan pilih-pilih dalam menurunkan adzabnya. “Dan takutlah kalian terhadap siksa yang tidak akan menimpa orang-orang yang zhalim saja diantara kalian (namun juga menimpa semua orang), dan ketahuilah bahwasanya Allah amatlah keras siksaan-Nya.” (QS Al-Anfal: 25) Demikianlah. Ketika Allah menurunkan adzab, maka adzab itu akan mengenai semua orang: tidak peduli orang yang baik ataupun para ahli maksiat.