Adanya perbedaan pendapat dalam fiqih adalah keniscayaan. Hal ini antara lain disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut.

Pertama, perbedaan pendapat mengenai kehujjahan suatu hadits. Hadits-hadits yang tidak mutawatir sifatnya dhanniy al-tsubut, artinya validitasnya (keshahihannya) bersifat dhanniy. Tingkat keshahihan hadits-hadits ahad juga beragam: mulai dari shahih, hasan shahih, hasan, dhaif, dan bahkan palsu (maudhu'). Para ahli hadits bisa berbeda pendapat mengenai kehujjahan satu hadits yang sama. Ahli hadits A bisa menilainya sebagai hadits yang shahih atau hasan namun ahli hadits B bisa menilainya sebagai hadits yang dhaif. Sebagian ahli hadits ada yang dikenal lebih ketat dalam menilai keshahihan hadits dibandings sebagian yang lainnya.

Kedua, perbedaan pendapat dalam memahami suatu nash. Bahkan ketika suatu nash jelas-jelas qath'iy al-tsubut, misalnya Al-Qur'an, pemahaman terhadap ayat-ayat tertentu bisa bersifat dhanniy. Inilah ayat-ayat yang sifatnya dhanniy al-dilalah. Pemahaman yang berbeda mengenai suatu nash yang qath'iy al-tsubut bisa disebabkan oleh berbagai hal, misalnya terkait dengan masalah 'aam dan khash, mutlaq dan muqayyad, haqiqah dan majaz, nasihk dan mansukh, dan sebagainya.

Sampai disini, kita bisa membedakan nash-nash Al-Qur'an dan Hadits Nabi menjadi empat kategori:

  1. Qath'iy al-tsubut, qath'iy al-dilalah: tidak menimbulkan perbedaan pendapat
  2. Qath'iy al-tsubut, dhanniy al-dilalah: bisa menimbulkan perbedaan pendapat
  3. Dhanniy al-tsubut, qath'iy al-dilalah: bisa menimbulkan perbedaan pendapat
  4. Dhanniy al-tsubut, dhanniy al-dilalah: bisa menimbulkan perbedaan pendapat

Ketika dua atau lebih hadits terlihat bertentangan, ada tiga pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ulama:

  1. Al-jam'u wa al-taufiq, yakni berusaha menggabungkan dan mensinkronkan hadits-hadits yang terlihat bertentangan.
  2. Naskh, yakni yang datang lebih akhir menghapuskan yang datang lebih awal, dengan syarat waktu masing-masing diketahui.
  3. Al-tarjiih, yakni mengambil yang lebih kuat.
  4. Al-tawaqquf, yakni berhenti.

Ketiga, perbedaan pendapat dalam dalil-dalil hukum. Semua sepakat untuk berdalil dengan Al-Qur'an, Al-Sunnah, dan Ijma'. Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai penggunaan dalil-dalil hukum yang lain seperti mashlahah mursalah, qaul shahabi, istihsan, istishab, syar'u man qablana, 'urf, dan bahkan qiyas (meskipun jumhur menyepakati penggunaan qiyas dengan syarat-syarat yang cukup ketat).

Keempat, perbedaan tabiat, kecenderungan pemahaman, cara pandang, wawasan, dan faktor lingkungan. Mengenai tabiat, bahkan di masa sahabat kita bisa mengambil contoh antara Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, dimana yang pertama cenderung ketat sedangkan yang kedua cenderung longgar. Dalam hal kecenderungan pemahaman, sebagian orang cenderung tekstual dan atau zhahiriyah (literal) sementara sebagian yang lain cenderung kontekstual dan atau substantif. Contoh yang biasa diketengahkan mengenai hal ini adalah perbedaan pendapat para sahabat mengenai sholat ashar ketika mereka dalam perjalanan menuju Bani Quraidhah.

Demikian pula cara pandang dan wawasan yang berbeda juga akan mempengaruhi pendapat seseorang. Adapun mengenai pengaruh lingkungan, contoh yang sangat nyata adalah adanya dua pendapat yang berbeda dari Imam Syafi'i, yang satu dikenal sebagai qaul qadiim (ketika beliau tinggal di Iraq) sedangkan yang satunya dikenal sebagai qaul jadiid (ketika beliau tinggal di Mesir).