ImageMenurut Yusuf al-Qardhawy, kecenderungan pemahaman fiqih  dapat dibedakan menjadi tiga:

  1. Pemahaman yang ekstem dan cenderung menyulitkan  (ghuluw, tasyaddud)
  2. Pemahaman yang moderat (i’tidal)
  3. Pemahaman yang cenderung memudah-mudahkan dan jahil (tasahhul, tarakhkhush)
Pemahaman yang pertama ini biasanya timbul dari seseorang  yang belum begitu memahami secara mendalam syari’ah Islam. Akibatnya, dalam memandang syari’ah, dia bagaikan seekor kuda bendi yang ditutup samping matanya sehingga hanya bisa melihat pada satu sisi saja.
Corak pemahaman yang ketiga biasanya terjadi pada seseorang yang sudah mempelajari seluk-beluk syari’ah, namun didalam hatinya ada penyakit. Hal ini antara lain karena pemahaman aqidahnya belum benar, belum datangnya hidayah Allah, ataupun berbagai sebab yang lain. Tipe orang ini sangat membahayakan ummat sebab dia biasanya pandai berbicara dan mengemukakan argumentasi tetapi dibalik itu terbersit sesuatu yang sangat jahat.

Pemahaman yang paling tepat adalah yang kedua. Moderat disini hendaknya diartikan pada tempatnya dan jangan diartikan sebagaaimana  kesalahkaprahan sebagian orang sekarang ini. Dalam corak pemahaman ini, syari’ah ditempatkan dalam posisi yang luwes, tergantung pada masa, situasi, dan kondisi namun tetap tidak akan pernah melampaui pokok-pokok syari’ah itu sendiri.

 

ANALISIS

Sebetulnya, syari’ah Islam sangatlah indah apabila berhasil dipahami dengan benar. Keindahan itu antara lain terletak pada elastisitasnya dan keadilannya. Elastisitas syari’ah Islam  dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang menuntutnya, sehingga akan benar-benar tampak oleh mata betapa tinggi keadilan Islam.

Selama ini, kekakuan dan kejumudan dalam memahami syari’ ah antara lain disebabkan oleh  pola pikir yang salah. Beberapa kalangan memahami fiqih hanya dengan cara taqlid semata. Mereka secara membabibuta berpegang dengan kuatnya pada salah satu madzhab tanpa pernah meneliti pada situasi dan kondisi seperti apa para imam madzhab tersebut mengeluarkan pendapat-pendapatnya. Hal ini penting karena para imam tersebut tidaklah terlepas dari situasi dan kondisi tertentu dalam berfatwa. Karenanya, yang harus kita pegang teguh dari para imam tersebut adalah pola (kerangka) pikir mereka dan bukan hasil pemikiran mereka, karena hasil pemikiran dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, padahal situasi dan kondisi yang kita alami belum tentu sama dengan  yang dialami oleh para imam tersebut.

Hal tersebut dengan jelas terbukti pada diri Imam Syafi’i. Pendapat-pendapatnya ketika  berada di Mesir tidaklah sama dengan pendapat-pendapat sebelumnya (ketika di Irak). Pendapat-pendapatnya selama di Irak kini dikenal dengan qaulul qadim sedangkan  selama di Mesir dikenal denga qaulul jadid. Dengan demikian  pola pikir kita adalah berdasarkan paradigma para imam tersebut (taqlid al-manhaj) dan bukan berdasarkan hasil pikir para imam tersebut (taqlid  al-qaul).

Untuk bisa  memiliki pemahaman seperti itu maka kita harus mengetahui  seperti apa pola pikir mereka. Dalam hal ini, kita harus mengetahui kaidah-kaidah yang mereka pergunakan dalam meng-istimbath hukum. Kaidah-kaidah ini meliputi  kaidah ushuliyyah (kaidah lughowiyyah) dan kaidah fiqhiyyah. Topik tentang kaidah-kaidah ini masuk dalam kajian ushul fiqih dan fiqih itu sendiri.

Untuk  bisa berijtihad dengan lebih tepat, masih ada lagi satu perangkat ilmu yang dibutuhkan yaitu falsafah at-tasyri’ (filsafat pensyariatan hukum-hukum Islam). Dengan perangkat ini, seorang mujtahid akan dapat meng-istimbath segala macam hukum  dengan  tepat dan luwes, jauh dari kesempitan, kepicikan, dan kejahilan, sesuai dengan tuntutan jaman, situasi, dan kondisi.

Falsafah at-tasyri’ merupakan kajian fiqih yang tertinggi. Kajian ini akan banyak bersinggungan (overlap) dengan kajian tasawuf. Dalam kajian ini, istilah-istilah fiqih dan ushul fiqih sudah jarang ditemui. Beberapa kalangan mempelajari kajian ini dengan nama yang lain, yaitu hikmah at-tasyri’ ataupun asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hukum Islam).

Karena itu, setelah seseorang mengkaji falsafah at-tasyri’, biasanya dia akan beralih ke kajian tasawuf. Inilah antara lain yang dimaksudkan oleh al-Junaid, seorang sufi besar, dengan perkataannya “Siapapun yang ingin masuk ke dunuia ini (maksudnya tasawuf) harus terlebih dulu memahami syariah dengan baik”. Sebetulnya,  kalau dipikirkan dengan mendalam, sangat benarlah apa yang dikatakan oleh al-Junaid. Tasawuf dipelajari oleh manusia dengan tujuan  untuk  untuk menggapai tujuan akhir (hakikat) ibadah, namun untuk menggapai tujuan tersebut kita harus melewati  jalan yang bisa mengantarkan. Jalan itu tidak lain adalah syariah. Lalu bagaimana seseorang akan mampu menapaki jalan yang berujung pada hakikat kalau dia tidak tahu jalan tersebut.

Dalam menempuh jalan (thariqah)  tasawuf, seorang salik  (penempuh) sangatlah membutuhkan rambu-rambu agar tidak terjerumus kedalam kesesatan yang membinasakan. Rambu-rambu itu tidak lain adalah syariah. Untuk keperluan inilah, seorang salik harus didampingi oleh seorang mursyid.

 

SEJARAH IJTIHAD  HUKUM-HUKUM ISLAM

Di jaman  nabi saw  dapat dikatakan tidak ada ijtihad karena segala persoalan dapat langsung ditanyakan pada nabi. Hanya dalam kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan untuk bertanya pada nabi dan kondisi yang mengharuskan agar masalah segera diputuskan, para sahabat memberanikan diri untuk berijtihad. Namun setelah itupun mereka  akan menanyakan kembali permasalahan tersebut kepada nabi  pada kesempatan yang lain.

Suatu contoh, pada saat rasulullah  berpesan pada sekelompok sahabat  yang akan beliau utus menempuh perjalanan agar tidak menuaikan shalat ashar sebelum mencapai tujuan. Para sahabat berbeda pendapat dalam menafsirkan pesan rasulullah tersebut. Sebagian menafsirkan bahwa rasulullah bermaksud menyuruh agar para sahabat mempercepat perjalanan. Namun sebagian yang lain menafsirkan apa adanya kata-kata rasulullah tersebut. Akhirnya mereka beramal sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing.

Ijtihad bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, yang boleh dilakukan oleh siapapun juga tanpa terkecuali. Seseorang yang belum layak berijtihad namun memaksakan diri untuk berijtihad  sangat tidak dibenarkan oleh syari’ah, terlebih-lebih jika ijtihadnya menyangkut orang lain. Mengenai hal ini, kiranya kita patut mengambil ibrah dari suatu kejadian di masa rasulullah. Pada saat itu ada seseorang yang sakit parah dan akan melaksanakan shalat, sementara dia dalam keadaan junub. Dia bingung apakah harus mandi atau tidak. Karenanya dia segera bertanya pada  para sahabat  yang lain. Seorang sahabat memberanikan  diri untuk menyuruh si sakit tadi untuk mandi. Apa yang terjadi? Si sakit tersebut langsung tewas gara-gara menyentuh air mandi. Seorang sahabat yang lain segera melaporkan kejadian ini pada rasulullah. Betapa marahnya rasulullah mendengar hal itu. Beliau bersabda, ”Orang itu telah membunuhnya.”!!!  Masya Allah, begitu berat tanggung jawab yang harus dipikul oleh seseorang yang berijtihad. Ijtihad bukan suatu main-main belaka. Karena itu ulama Hanafiyyah melarang minta fatwa kepada  seseorang yang  gemar berkelakar.

Sepeninggal rasulullah, barulah para sahabat dituntut  untuk berijtihad  karena begitu banyaknya permasalahan baru yang harus dipecahkan. Dalam hal ini, para sahabat akan mengutamakan  tradisi nabi. Untuk keperluan ini, bahkan para sahabat rela bersusah-susah untuk mendapatkan informasi bagaimana nabi mengambil hukum dalam berbagai masalah.

Pada masa para tabi’in (generasi sepeningggal para sahabat), ijtihad  terus berlangsung. Mereka tersebar di berbagai negeri (kota) yang berada dibawah kekuasaan  dinasti  Amawiyah. Guru-guru mereka  adalah para sahabat nabi yang  menyebar ke berbagai negeri, seperti Ibnu Umar dan Zaid ibn Tsabit di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kufah, Ibnu Abbas di Makkah, Amr ibn Ash di Mesir, dan sebagainya.

Pada generasi tabi’ut tabi’in, ijtihad pun masih berlangsung sampai pada akhirnya datanglah masa-masa yang suram dalam dunia Islam. Pintu ijtihad telah tertutup. Akibatnya para ulama yang seharusnya mengemban tugas sebagai mujtahid hanya mencukupkan diri dengan bertaqlid  kepada para imam-imam sebelumnya. Sebetulnya kejadian menyedihkan ini bukannya tidak mempunyai alasan yang masuk akal. Pada masa itu banyak orang-orang yang belum layak untuk berijtihad dengan lancangnya memberanikan diri untuk berijtihad. Melihat gejala inilah maka para ulama mengeluarkan seruan bahwa pintu ijthad telah tertutup. Fenomena seperti ini, dimana kaum muslimin terlalu  jauh dalam meng-counter penyimpamgan yang terjadi, memang sering sekali terjadi dalam sejarah. Dalam hal ini, contoh lainnya adalah munculnya tasawuf yang terlalu jauh dari syari’ah dan terkesan rahbaniyyah (kerahib-rahiban). Tasawuf seperti ini banyak muncul  di masa dinasti Amawiyyah yang dinilai menerapkan Islam sebagai sesuatu yang kering dan kehilangan ruhnya, dimana hal ini jauh berbeda dengan Islam yang ditempuh oleh generasi sebelumnya.

Namun alhamdulillah, Allah tidak membiarkan kondisi syari’ah mengalami kejumudan. Allah menghendaki munculnya para mujaddid dan mujtahid di muka bumi ini. Diantara mereka terdapat Syaikhul Islam Taqiyuddin ibn Taimiyyah, yang berusaha menggebrak pintu ijtihad yang telah ditutup itu, meskipun harus menghadapi kecaman dari banyak pihak. Setelah itu bermunculanlah para mujtahid dalam usahanya menyelamatkan syari’ah Allah yang mulia.

 

SARANA IJTIHAD

Dalam berijtihad, seseorang harus memenuhi kualifikasi tertentu. Kualifikasi ini hanya bisa dicapai dengan usaha yang tidak ringan. Seseorang dituntut untuk  tekun mendalami ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pendukung yang diperlukan, agar bisa mencapai derajat mujtahid. Kualifikasi seorang mujtahid antara lain:

1. Menguasai bahasa Arab dengan baik.

Hal ini mutlak karena seorang mujtahid harus berinteraksi dengan Alqur’an dan Alhadits yang ditulis dalam bahasa Arab. Kedua sumber hukum ini harus dipahami menurut pemahaman bahasa Arab dan tidak  mungkin dipahami dengan cara pikir bahasa lain, karena bahasa Arab mempunyai segi-segi linguistik yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Lalu bagaimana kalau ada yang berijtihad dengan bersandarkan pada terjemahan  semata?

2. Memahami ushul fiqih yang meliputi kaidah-kaidah lughawiyah dan kaidah-kaidah fiqhiyah. Dalam hal kaidah-kaidah lughawiyah, dibutuhkan penguasaan bahasa Arab yang baik sebagaimana disebutkan sebelumnya.

3. Memahami tafsir ayat-ayat hukum dalam Alqur’an. Jumlah ayat-ayat hukum ini diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang berpendapat bahwa jumlahnya kurang dari separuh Alqur’an. Ada pula yang berpendapat bahwa  seluruh ayat-ayat Al-Qur’an pada dasarnya merupakan ayat-ayat hukum.

4. Menguasai  ilmu-ilmu hadits baik riwayatul hadits maupun dirayatul hadits. Mengenai ini perlu dicamkan bahwa dalam ijtihad,  seorang mujtahid akan jauh lebih banyak bersandar pada Alhadits daripada Alqur’an. Hal ini bisa dimaklumi karena Alqur’an hanya memuat hal-hal pokok saja, sementara Alhadits merupakan penafsir Alqur’an.

5. Mengetahui ijma’ para  fuqaha’ (dengan asumsi mengakui adanya ijma’ mereka) atau sekurang-kurangnya ijma’ para sahabat (jika berpendirian bahwa ijma’ hanya berlaku untuk para sahabat nabi).

6. Menguasai semua cabang syari’ah. Hal ini penting karena cabang-cabang syari’ah seringkali berkaitan satu sama lain.