Maslahah mursalah adalah salah satu dari dalil-dalil hukum yang diperselishkan. Yang dimaksud dengan maslahah mursalah adalah suatu maslahah yang tidak ada nash yang memerintahkan maupun mengingkarinya. Karena itulah disebut mursalah. Maslahah yang dimaksud bisa jadi mendatangkan manfaat, menolak mafsadat, atau kedua-duanya, yang merupakan maksud dari pensyariatan (tasyri').

Dari sisi keselarasan dengan syariat, maslahah secara umum bisa dibedakan menjadi dua: 1) maslahah mu'tabarah, dan inilah yang dimaksud dengan maslahah mursalah, yakni maslahah yang selaras dengan maksud-maksud syariat (maqashid syariah) dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan hukum-hukum syariat yang sudah jelas, dan 2) maslahah mulghaah, yakni maslahah yang diingkari oleh syariat, misalnya menyamakan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam hak waris.

Argumentasi dari mereka yang menyetujui kehujjahan maslahah mursalah:

  1. Kemaslahatan manusia itu senantiasa berkembang dan berubah, tidak pernah berhenti. Jika kita membatasi pada maslahah yang ada nash-nya saja, maka terputuslah kemaslahatan manusia seiring dengan berkembangnya zaman.
  2. Praktek dari para sahabat, tabi'in, dan para imam mujtahid menunjukkan bahwa mereka menggunakan maslahah mursalah. Di masa sahabat sendiri misalnya mengumpulkan Al-Qur'an di masa Abu Bakar, pembukuan dan penyatuan mushaf Al-Qur'an di masa Utsman, memerangi orang-orang yeng menolak membayar zakat di masa Abu Bakar, menetapkan talak tiga dalam satu kalimat sebagai talak satu saja di masa Umar, dan mengembalikan tanah pertanian kepada para pemilik aslinya setelah futuhat dengan pembayaran pajak sebagai gantinya di masa Umar.

Adapun syarat-syarat maslahah mursalah adalah sebagai berikut:

  1. Merupakan maslahah yang sifatnya haqiqiyah, bukan wahmiyah (sekadar dugaan yang tidak didasari argumentasi yang jelas). Artinya harus terlebih dulu benar-benar ditimbang antara maslahat dan mafsadat yang bisa ditimbulkan, berdasarkan pertimbangan para ahli, baru kemudian diputuskan.
  2. Merupakan maslahat yang sifatnya umum, bukan hanya untuk kemaslahatan pribadi atau orang-orang tertentu saja. 
  3. Tidak bertentangan dengan hukum dan prinsip yang sudah jelas dalam syariat.

Adapun mereka yang tidak menyetujui maslahah mursalah mengemukakan alasan-asalan berikut:

Pertama, bahwasanya nash-nash dalam syariat pasti telah mengatur segala sesuatu. Tidak ada satupun maslahat kecuali ada dalilnya dalam nash. Dalam hal ini, biasanya mereka membatasi dalil hukum sampai pada qiyas saja. Padahal tidak semua hal bisa diketahui hukumnya dari qiyas.

Kedua, jika penetapan hukum hanya didasarkan pada pertimbangan maslahat maka ini akan membuka pintu bagi diperturutkannya hawa nafsu atau kepentingan-kepentingan duniawi semata. 

Sebetulnya kedua argumentasi ini bisa dibantah dengan mudah. Pertama, kenyataannya tidak semua permasalahan manusia ada nash-nya. Ini jelas dan tidak bisa dipungkiri kenyataannya. Kedua, adanya kemungkinan turutnya hawa nafsu bukanlah alasan untuk menentang maslahah mursalah, karena maslahah mursalah yang dimaksud tentu saja adalah maslahah yang memiliki syarat-syarat sebagaimana diatas. Maslahah yang dimaksud harus didasarkan pada ilmu dan ketaqwaan sekaligus.