Istihsan merupakan salah satu dari dalil-dalil hukum yang diperselisihkan. Dari sisi bahasa, istihsan artinya "menganggap baik sesuatu". Adapun dari sisi istilah, dalam Ushul Fiqih, istihsan artinya berpindah dari qiyas jaliy kepada qiyas khafiy, atau berpindah dari hukum kulliy kepada hukum istitsna-iy (pengecualian), karena perpindahan ini dipandang lebih baik berdasarkan suatu argumentasi (dalil).
Berpindah dari qiyas jaliy kepada qiyas khafiy: Contohnya adalah pendapat para fuqaha' Hanafiyah bahwa jika seseorang mewaqafkan suatu tanah maka hak melewati, hak irigasi, dan hak minum (mengambil air dari tanahnya) masuk dalam hak pengelolaan wakaf, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit. Berdasarkan qiyas jaliy, hak-hak tersebut tidak termasuk kecuali jika dinyatakan secara eksplisit, diqiyaskan pada akad jual-beli. Namun berdasarkan qiyas khafiy, yakni qiyas terhadap ijarah, hak-hak tersebut termasuk.
Contoh lainnya, jika penjual dan pembeli berselisih di depan hakim tentang harga barang, dimana pembeli sudah membayar namun penjual belum menyerahkan barangnya. Penjual mengklaim bahwa harganya misalnya 100, sedangkan pembeli mengklaim bahwa harganya 90. Berdasarkan qiyas jaliy, penjual tidak boleh bersumpah karena dia mengklaim harga yang lebih tinggi, yang diingkari oleh pembeli. Ini berdasarkan kaidah: "Bukti oleh yang mengklaim, sumpah oleh yang mengingkari." Disini sebetulnya masing-masing pihak adalah peng-klaim sekaligus pengingkar. Penjual adalah pengklaim harga yang lebih tinggi, namun juga pengingkar yaitu mengingkari hak pembeli untuk mengambil barang dagangan. Pembeli adalah pengingkar yaitu mengingkari harga berlebih yang diklaim oleh penjual, namun juga pengklaim yaitu mengklaim berpindahnya kepemilikan barang dari tangan penjual ke tangannya. Berdasarkan qiyas khafiy, masing-masing bisa dianggap sebagai orang yang mengingkari, sehingga siapapun diantara kedua belah pihak boleh bersumpah.
Berpindah dari hukum kulliy kepada hukum pengecualian: Contohnya adalah tentang bolehnya jual beli salam. Menurut hukum kulliy, tidak boleh jual beli barang yang tidak ada (sewaktu akad). Namun kemudian berdasarkan istihsan jual beli salam dihukumi boleh dengan alasan kebutuhan manusia akan hal itu ketika mereka sudah mengenal baik satu sama lain.
Contoh lainnya adalah mengenai sisa makanan burung-burung pemangsa. Hukum kulliy mengatakan bahwa sisa makanan dari hewan yang dagingnya haram dimakan seperti babi, harimau, singa, dan serigala adalah najis. Maka mestinya sisa makanan dari burung-burung pemangsa juga demikian karena burung-burung pemangsa dagingnya haram dimakan. Namun berdasarkan istihsan para fuqaha' Hanafiyah berpendapat bahwa sisa makanan dari burung pemangsa adalah suci. Alasannya adalah karena burung-burung pemangsa tersebut, meskipun dagingnya haram dimakan, mengambil makanan dan minuman dengan paruhnya, sedangkan paruhnya adalah tulang yang suci.
Sebab perselisihan mengenai kehujjahan istihsan: Diantara yang tidak menyetujui kehujjahan istihsan adalah Imam Syafi'i. Beliau memaparkan istihsan dengan mencontohkan orang yang menentukan arah qiblat sesuai dengan yang dia anggap baik/benar, tanpa adanya dalil (bukti) yang jelas. Dalam hal ini beliau menganggap bahwa istihsan hanyalah menetapkan sesuatu berdasarkan akal semata-mata. Kemudian muncullah ungkapan beliau yang terkenal: "Barangsiapa ber-istihsan maka ia telah membuat syariat."
Jika kita amati, sebab perselisihan mengenai kehujjahan istihsan ini adalah perbedaan definisi antara mereka yang menyetujui dan mereka yang tidak menyetujuinya. Pihak yang tidak menyetujui mendefinisikan istihsan dengan definisi yang terlalu longgar, sedangkan pihak yang mendukung mendefinisikan istihsan dengan batasan-batasan tertentu.