Ramadhan Bulan Al-Qur’an
Mengapa Ramadhan disebut sebagai bulan Al-Qur’an (syahrul Qur’an)? Setidak-tidaknya ada dua latar belakang. Pertama, karena diturunkannya pertama kali Al-Qur’an adalah pada bulan Ramadhan. Ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Syahru Ramadhan al-ladzii unzila fihil Qur’an (Bulan Ramadhan yang diturunkan Al-Qur’an pada bulan itu).” Menurut para ulama’, di bulan Ramadhan Al-Qur’an yang 30 juz diturunkan sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Dan kemudian selama kurun waktu 23 tahun (yaitu selama masa kenabian) diturunkan secara berangsur-angsur. Dan ayat-ayat yang pertama diturunkan di bulan Ramadhan, ketika Rasulullah sedang bertahannuts (menyepi) di Gua Hira, yaitu Al-’Alaq 1-5.
Kedua, karena pada setiap Ramadhan, Jibril men-talaqqi (mengajarkan) Rasulullah saw Al-Qur’an seluruhnya. Rasulullah saw dengan dibimbing Jibril, melakukan tadarrus dan mengkhatamkan Al-Qur’an pada setiap Ramadhan. Dengan demikian, Rasulullah selalu mengkhatamkan Al-Qur’an pada setiap Ramadhan. Dan pada tahun terakhir kehidupan beliau, beliau dua kali mengkhatamkannya.
Fungsi Al-Qur’an dalam Kehidupan
Al-Qur’an adalah pedoman hidup kita untuk bisa selamat dunia akhirat. Kita tidak cukup mengandalkan akal dan perasaan. Banyak hal tidak terjangkau oleh akal dan perasaan, dan kita bisa tersesat jika hanya menggunakan keduanya, seperti siapakah Allah, bagaimana sifat-sifat Allah, tujuan manusia diciptakan, hakikat kehidupan, kehidupan sesudah mati, alam ghaib, dan sebagainya.
Namun akal dan perasaan juga penting. Keduanya adalah sarana yang telah disiapkan oleh Allah agar kita memahami Al-Qur’an, disamping juga ayat-ayat kauniyah. Tetapi jangan pernah menuhankan akal dan perasaan semata. Yang benar adalah menggunakan akal dan pikiran bersama-sama dengan petunjuk Al-Qur’an.
Rasulullah saw diutus untuk membacakan Al-Qur’an kepada kepada umat manusia yang lainnya. Dan pada saat yang sama, Rasulullah juga diutus sebagai penjelas dan penafsir apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an. Tidak mungkin Allah menurunkan Al-Qur’an begitu saja dari langit tanpa seorang juru penjelas (dan karena itu diutuslah Rasulullah). Semua kata-kata dan tindakan Nabi adalah penjelasan dan tafsir terhadap Al-Qur’an. Karena itu kita harus mempelajari sabda-sabda dan perilaku beliau – yang biasa disebut sebagai Sunnah – untuk bisa memahami Al-Qur’an dengan baik. Tidak mungkin kita bisa memahami Al-Qur’an dengan baik tanpa memahami Sunnah dengan baik. Contoh sederhana, dalam Al-Qur’an terdapat banyak perintah Wa aqiimush sholaat (Dan dirikanlah sholat). Wa aatuz zakaat (Dan tunaikan zakat). Tetapi bagaimana tata cara sholat dan zakat sama sekali tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an. Dari Sunnah-lah kita baru bisa mengetahui tata cara sholat dan zakat.
Sedemikian pentingnya Al-Qur’an, dalam QS Ali ’Imran Allah melalui lisan para nabinya memerintahkan manusia untuk menjadi rabbaniyyin, yang mana ini merupakan misi hidup manusia. Dan ternyata yang dimaksud dengan rabbaniyyin itu adalah: bimaa kuntum tu’allimuunal kitaab wa bimaa kuntum tadrusuun (karena kalian mengajarkan Kitab Allah dan karena kalian terus mempelajarinya). Senada dengan itu, Rasulullah bersabda: Khairukum man ta’allamal Qur’an wa ’allamahu (Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan yang mengajarkannya).
Tetapi kenyataannya, sudah seperti apa kita memuliakan Al-Qur’an? Sudah sebagus apa interaksi dan keakraban kita dengan Al-Qur’an? Apakah Al-Qur’an masih sebatas sebagai hiasan di rumah-rumah kita? Ditaruh di tempat yang tinggi? Dituliskan dalam kaligrafi? Ataukah masih sebatas sebagai seremonial untuk membuka acara-acara? Atau masih sebatas diperlombakan dalam event-event MTQ?
Tidakkah kita perhatikan keluhan Sang Rasul tentang kaumnya yang meninggalkan dan menyia-nyiakan Al-Qur’an? Allah SWT berfirman, “Dan berkatalah Sang Rasul, ‘Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini tersia-siakan.” (Al-Furqaan: 30
Dan tidakkah kita takut dengan ancaman Allah terhadap orang-orang yang melupakan peringatan-Nya, yakni Al-Qur’an? Allah SWT akan menjadikan orang-orang itu buta meskipun mereka tidak buta ketika hidup di dunia. Allah SWT berfirman,”Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia: ‘Wahai Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?’ Allah berfirman: ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan". (QS Thaha: 124 – 126)