Definisi hadits

Yang dimaksud dengan hadits mencakup empat hal:

  1. Perkataan Rasulullah saw
  2. Perbuatan Rasulullah saw
  3. Persetujuan (taqrir) Rasulullah saw
  4. Sifat Rasulullah saw, yang mencakup sifat khalqi (fisik) dan sifat khuluqi (akhlaq)

Salah satu dari empat hal diatas jika diriwayatkan oleh seorang sahabat maka itu disebut sebagai hadits.

Hadits di masa kenabian dan masa sahabat sepeninggal Rasulullah saw

Masa ini tidak persis berakhir pada pertengahan abad I Hijriyah, namun lebih dari itu karena cukup banyak sahabat yang hidup sampai tahun 70-an Hijriyah. Bahkan Anas ibn Malik misalnya hidup sampai tahun 92 Hijriyah. Ini adalah masa dimana Rasulullah saw masih hidup, dan dilanjutkan dengan masa sepeninggal Rasulullah saw dimana para sahabat masih hidup. Berikut ini beberapa pertanyaan dan jawaban yang bisa diajukan.

Bagaimana para sahabat mendapatkan hadits dari Rasulullah saw? Para sahabat adalah mereka yang melihat langsung Rasulullah saw. Ada yang sekadar melihat Rasulullah, ada yang mendengar perkataan Rasulullah, ada yang bercakap-cakap dengan Rasulullah, dan ada yang memiliki interaksi yang dekat dan/atau sering dengan Rasulullah. Ada yang mendengarkan perkataan-perkataan Rasulullah di Masjid Nabi, diluar masjid, pada saat haji, dan sebagainya. Sebagian sahabat ada yang mendapatkan hadits secara langsung dari Rasulullah saw, dan ada yang mendapatkannya dari sahabat yang lainnya.

Apakah hadits dituliskan pada masa hidup Rasulullah saw dan di masa para sahabat? Terdapat hadits-hadits yang menyatakan larangan Rasulullah saw kepada para sahabat untuk menulis hadits. Yang bisa dipahami, alasan utamanya adalah agar hadits-hadits tidak bercampur dengan Al-Qur'an (yang memang dituliskan disamping dihafalkan). Di sisi yang lain terdapat pula hadits-hadits yang memperbolehkan menulis hadits-hadits Rasulullah saw. Dan faktanya memang tulisan yang berisi hadits Nabi memang ada, misalnya tulisan-tulisan hadits yang dimiliki oleh Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash. Dalam memahami pertentangan ini terdapat beberapa pandangan:

  • Pertama, pandangan tarjih, yakni menguatkan salah satu pandangan saja dan menggugurkan yang lainnya. Ini tidak tepat karena semua hadits-hadits tersebut maqbul.
  • Kedua, larangan menulis hadits adalah karena kekhawatiran bercampur dengan Al-Qur'an. Dengan demikian larangan ini berlaku jika menuliskan hadits bersama-sama dengan Al-Qur'an, misalnya di kertas atau lembaran yang sama. Namun jika dituliskan secara terpisah maka tidak mengapa.
  • Ketiga, larangan menulis hadits berlaku di masa awal Islam karena dikhawatirkan hadits akan bercampur dengan Al-Qur'an dan agar kaum muslimin di awal Islam fokus kepada Al-Qur'an. Namun ketika kaum muslimin sudah banyak dan banyak yang menghafal Al-Qur'an maka larangan menulis hadits sudah gugur. 
  • Keempat, larangan menulis hadits adalah untuk para sahabat yang hafalannya kuat dan dikhawatirkan akan banyak menggantungkan diri pada tulisan saja. Adapun kebolehan menulis hadits adalah untuk yang tidak kuat hafalannya, misalnya Abu Syah.
  • Kelima, larangan menulis hadits berlaku umum, sedangkan kebolehan menuliskannya adalah untuk para sahabat yang bagus dan tidak suka salah dalam menulis.

Yang benar, larangan Rasulullah saw untuk menulis hadits tidaklah bersifat mutlak. Hanya saja, karena adanya larangan tersebut maka penulisan hadits di masa hidupnya Rasulullah saw tidak banyak dan tidak umum. Ini berbeda dengan penulisan Al-Qur'an yang banyak dilakukan oleh para sahabat, disamping mereka juga menghafalkannya. Namun tetap ada beberapa sahabat yang menulis hadits-hadits Rasulullah saw secara pribadi.

Sepeninggal Rasulullah saw, para sahabat juga sebagiannya, antara lain Umar ibn Al-Khaththab, tidak suka menuliskan hadits dengan alasan tidak ingin mengalihkan perhatian kaum muslimin dari Al-Qur'an. Namun ketika kekhawatiran itu telah tiada maka para sahabat semakin terbuka dalam penulisan hadits.

Bagaimana para sahabat meriwayatkan hadits? Ini menyangkut dua aspek. Pertama, bagaimana transmisinya. Kedua, bagaimana redaksinya. Mengenai transmisi, para sahabat Nabi meriwayatkan hadits kepada dua golongan: 1) kepada sahabat yang lainnya, dan 2) kepada para tabi'in. Mengenai periwayatan dari sahabat yang satu kepada sahabat yang lainnya, ini bisa terjadi dalam beberapa keadaan. Ada sahabat yang tidak hadir bertanya kepada sahabat yang hadir. Ada sahabat yang kurang ada waktu bertanya kepada sahabat yang hampir selalu membersamai Rasulullah saw. Ada sahabat kecil yang bertanya kepada sahabat senior yang menghabiskan banyak waktu berinteraksi dengan Rasulullah saw. Sepeninggal Rasulullah saw, sebagian sahabat bahkan melakukan perjalanan hanya untuk mendapatkan satu hadits dari sahabat Nabi lainnya, karena sahabat tersebut agak lupa dengan suatu hadits dan dia ingat bahwa ada sahabat lainnya yang mendengar bersamanya, atau karena sahabat tersebut tidak tahu dan ingin mendengar dari sahabat lainnya yang mengetahuinya dari Rasulullah saw.

Sepeninggal Rasulullah saw di masa para sahabat besar (kibar al-shahabah), para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits karena khawatir salah dalam meriwayatkan. Abu Bakar dan Umar bersikap ketat terhadap periwayatan hadits. Mereka meminta persaksian dari seorang sahabat yang lainnya jika ada sahabat yang menyampaikan suatu hadits. Utsman bertanya dan meminta konfirmasi kepada para sahabat yang lainnya tentang hadits. Adapun Ali ibn Abi Thalib menggunakan istihlaf (sumpah) terhadap seorang sahabat yang menyampaikan suatu hadits.

Adapun periwayatan dari sahabat kepada para tabi'in, maka sebagian besarnya tentunya adalah periwayatan dari para sahabat yang masih hidup dalam waktu yang cukup lama sepeninggal Rasulullah, sehingga banyak bertemu dan hidup semasa dengan para tabi'in. Kemudian dari aspek redaksinya, jika itu berupa perkataan Rasulullah saw maka para sahabat akan berusaha meriwayatkannya sebagaimana adanya Rasulullah saw mengucapkannya. Yang demikian ini karena ada perintah dari Rasulullah saw untuk menyampaikan perkataan beliau "sebagaimana adanya". Hanya saja para sahabat juga memahami bahwa hadits tidak "wajib" diriwayatkan "persis huruf per huruf" sebagaimana Al-Qur'an. Sebagai bentuk kehati-hatian, sebagian sahabat mengatakan "aw kamaa qaala Rasulullah saw" jika meriwayatkan hadits dengan maknanya. Disini kita mesti memahami bahwa hafalan orang Arab ketika itu sangat kuat karena sebagian besar mereka buta huruf dan tidak bisa baca tulis. Artinya, budaya baca tulis belum menjadi kebiasaan umum. Sudah menjadi sunnatullah bahwa ketika suatu sarana belum ada, maka orang akan memiliki kekuatan dalam sarana lainnya yang ia miliki. Misalnya, ketika alat transportasi belum banyak tersedia, kebanyakan orang memiliki kemampuan berjalan jauh yang luar biasa. Ketika alat transportasi banyak tersedia, banyak orang menjadi cepat lelah jika berjalan jauh.

Hadits di masa sepeninggal para sahabat (masa tabi'in)

Ini adalah masa para tabi'in meriwayatkan hadits kepada murid-muridnya di berbagai kota (amshar). Murid-murid (tabi'in) dari tujuh sahabat Rasulullah saw yang paling banyak meriwayatkan hadits bisa dibaca disini. Sebagaimana dicontohkan oleh sebagian sahabat, para tabi'in juga sangat bersemangat untuk melakukan perjalanan dalam rangka mendapatkan hadits. Jika seorang tabi'i mendengar suatu hadits tidak langsung dari seorang sahabat atau dari seorang sahabat namun bukan yang langsung mendapatkannya dari Rasulullah saw maka ia sangat bersemangat untuk melakukan perjalanan dalam rangka menemui sahabat yang langsung mendapatkan hadits tersebut dari Rasulullah saw.

Setelah mendapatkan hadits dari seorang sahabat, yakni gurunya, para tabi'in akan me-mudzakarah hadits yang mereka dapatkan. Sebagai gambaran, Ibnu Abbas memerintahkan murid-muridnya untuk me-mudzakarah hadits-hadits yang telah mereka dapatkan darinya sampai hafal. Dengan demikian para tabi'in tidak hanya sibuk menghafalkan Al-Qur'an tetapi juga menghafalkan hadits-hadits Rasulullah saw. Mereka memerintahkan anak-anak dan murid-murid mereka untuk melakukan kedua hal tersebut, yakni menghafalkan Al-Qur'an dan menghafalkan hadits-hadits Rasulullah saw. Tentu yang dimaksud disini bukanlah semua orang pada masa tabi'in, namun hanya mereka-mereka yang menuntut ilmu dengan cara menemui dan/atau menghadiri majelis-majelis sahabat Rasulullah saw, dimana ilmu pada waktu itu terutama bermakna hadits-hadits Rasulullah saw. Dan mereka pertama-tama mempelajari Al-Qur'an lalu kemudian hadits-hadits Nabi saw.

Pada masa tabi'in, hadits makin banyak ditulis dan dibaca. Hasan Al-Bashri berkata, "Sesungguhnya kami memiliki kitab-kitab yang kami jadikan pegangan." Atha' ibn Abi Rabbah juga menulis hadits untuk dirinya sendiri, dan kadang-kadang meminta anaknya untuk menulis buatnya, dan murid-muridnya juga menulis di hadapannya. Al-Walid ibn Abi Al-Saib berkata, "Aku melihat Makhul, Nafi', dan Atha' dibacakan hadits-hadits di hadapan mereka." Abu Rafi' berkata, "Aku melihat seseorang membaca di hadapan Al-A'raj hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan darinya." Bahkan Nafi' mendiktekan hadits-hadits kepada murid-muridnya lalu murid-muridnya menulisnya di hadapan Nafi'. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa hadits-hadits sudah biasa ditulis dan dibaca dari tulisan pada masa tabi'in.

Jasa Umar ibn Abdil Aziz: Khalifah Umar ibn Abdil Aziz menulis surat ke Madinah untuk menuliskan dan menghimpun hadits-hadits Rasulullah saw. Kemudian beliau memerintahkan Ibn Syihab Al-Zuhri (wafat tahun 124 H) bersama timnya untuk menghimpun hadits-hadits Rasulullah saw. Umar ibn Abdil Aziz juga memerintahkan para gubernur agar para ahli ilmu banyak menyebarkan dan menghidupkan Sunnah Rasulullah saw. Para ulama hadits biasa menjadikan penghimpunan hadits oleh Umar ibn Abdil Aziz pada sekitar tahun 100 H ini sebagai awal "tadwin" hadits.

Masa tabi'in ini disepakati tidak melebihi tahun 150 H.

Semenjak akhir masa kekhalifahan Utsman telah terjadi fitnah di kalangan umat Islam. Terus berlanjut hingga masa Ali ibn Abi Thalib, Al-Hasan ibn Ali, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, dan seterusnya di masa tabi'in. Akibat dari fitnah ini, mulai muncul hadits-hadits palsu. Hanya saja hadits-hadits palsu ini masih bisa dengan mudah dikenali karena para sahabat masih banyak yang hidup dan para murid-muridnya, yakni para tabi'in, tahu dan hafal hadits-hadits yang mereka dapatkan dari para sahabat. 

Hadits di masa tabiut tabi'in di paruh akhir abad II Hijriyah (150 - 200 H)

Di masa tabi'ut tabi'in, perselisihan politik, firqah keagamaan, dan qaumiyah makin membesar, sementara para sahabat dan para tabi'in besar sudah tidak ada lagi. Yang terkenal sebagai wilayah yang banyak tersebar hadits-hadits palsu adalah Iraq. Dan yang relatif tidak banyak hadits-hadits palsu adalah di kota Madinah. Sampai-sampai Imam Malik berkata: "Perlakukanlah hadits-hadits penduduk Iraq seperti perkataan Ahlul Kitab, jangan kalian benarkan dan jangan kalian dustakan."

Maka mulai di masa tabi'ut tabi'in inilah para muhaddits mempersyaratkan penyebutan sanad untuk memastikan bahwa para perawi suatu hadits adalah orang-orang yang bisa dipercaya. Bukan berarti bahwa pada masa sahabat dan tabi'in sanad tidak dianggap penting, sama sekali tidak. Sanad tetap diketahui dan dihafal, hanya saja tidak "selalu" harus disebutkan karena ketika itu kebanyakan orang masih jujur dan amanah. Ditambah lagi bahwa sanad sudah merupakan bagian dari budaya masyarakat Arab sejak lama.

Muhammad ibn Sirin berkata, "Kami sebelumnya tidak pernah menanyakan sanad, namun ketika fitnah tersebar luas maka orang-orang berkata: 'Sebutkan para perawi kamu.' Maka jika dari Ahlus Sunnah akan diterima haditsnya dan jika dari Ahlul Bid'ah akan ditolak haditsnya."

Pada masa ini pula, para muhaddits mulai menyusun "ahwaal al-ruwaat (keadaan para perawi hadits)" dan men-jarh atau men-ta'dil para perawi hadits. Mereka tidak sungkan-sungkan bahkan men-jarh kerabat mereka sendiri demi memberitahukan bahwa seseorang tidak bisa diambil hadits darinya. 

Sesudah itu secara otomatis para muhaddits menyatakan bahwa hadits-hadits tertentu adalah shahih, hadits-hadits tertentu adalah dhaif, dan hadits-hadits tertentu adalah palsu. Pada abad II Hijriyah istilah hadits hasan belum dikenal. Baru pada masa belakangan, terutama oleh Imam Tirmidzi, istilah hadits hasan dikenal luas.

Kitab-kitab hadits yang muncul di akhir abad I Hijriyah antara lain:

  1. Muwaththa' Abdil Aziz Al-Majisyun (wafat tahun 164 H)
  2. Muwaththa' Ibrahim ibn MUhammad ibn Abi Yahya (wafat tahun 184 H)
  3. Muwaththa' Abdillah ibn Wahb (wafat tahun 197 H)

Hadits di abad III - IV Hijriyah

Abad III Hijriyah adalah masa keemasan tadwin hadits dimana banyak sekali kitab-kitab hadits ditulis pada masa ini. Diantaranya adalah kitab hadits yang enam (al-kutub al-sittah). Penulisan kitab-kitab hadits ini berlanjut hingga abad IV Hijriyah. Daftar beberapa kitab hadits dengan berbagai jenisnya bisa dilihat disini.