Ada dua hal yang niscaya dalam periwayatan hadits: mendapatkan hadits (al-tahammul) dan meriwayatkan hadits (al-adaa'). Untuk mendapatkan hadits, hanya dipersyaratkan tamyiiz saja, dan tidak dipersyaratkan baligh dan Islam. Namun untuk meriwayatkan hadits, dipersyaratkan baligh dan Islam. Dengan demikian, seseorang bisa saja mendapatkan hadits sebelum ia baligh (namun sudah mumayyiz) atau sebelum ia masuk Islam, kemudian meriwayatkannya setelah ia baligh dan beragama Islam.

Berikut ini beberapa cara mendapatkan dan meriwayatkan hadits:

Pertama, mendengarkan (al-simaa') dari guru, yakni guru membaca hadits dan murid mendengarkannya. Dalam hal ini guru bisa membaca hadits dari hafalannya atau dari kitabnya. Adapun murid bisa mendengar sambil menuliskannya atau sekadar mendengar saja.

Kedudukannya: Ini adalah cara tahammul dengan derajat tertinggi menurut jumhur 'ulama hadits.

Lafazh-lafazhnya antara lain:

  1. "Sami'tu" atau "Haddatsanii" atau "Haddatsanaa" untuk al-simaa' melalui tahdits atau imlaa'
  2. "Qaala lii" atau "Dzakara lii" untuk al-simaa' melalui mudzakarah

Kedua, membaca (al-qira-ah) di hadapan guru, yakni murid (atau kawan yang duduk bersamanya) membaca hadits dan guru mendengarkannya. Membaca hadits disini bisa dari hafalan atau dari kitab. Adapun guru dalam hal ini bisa mengawasi bacaan murid (atau kawan yang duduk bersamanya) dari hafalannya atau dengan memegang kitabnya.

Kedudukannya: ada tiga pendapat:

  1. Setara dengan al-simaa'. Ini adalah pendapat Malik, Al-Bukhari, dan para ulama hadits Hijaz dan Kufah.
  2. Lebih rendah dari al-simaa'. Ini adalah pendapat jumhur Ahlul Masyriq. Dan inilah pendapat yang lebih tepat.
  3. Lebih tinggi dari al-simaa'. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ibn Abi Dzi'b, dan juga diriwayatkan yang demikian dari Malik.

Lafazh-lafazhnya antara lain:

  1. "Qara'tu 'ala Fulan" (jika murid sendiri yang membaca) atau "Quri-a 'alaihi wa anaa asma'u" (jika kawan yang duduk bersamanya yang membaca). Ini lafazh yang paling hati-hati
  2. "Haddatsani qiraa-atan 'alaih". Lafazh ini diperbolehkan.
  3. "Akhbaranii" atau "Akhbaranaa". Ini lafazh yang paling sering dipakai.

Ketiga, ijazah, yakni ijin untuk meriwayatkan, baik dengan lafazh maupun dengan tulisan. Dalam hal ini, guru berkata kepada muridnya, misalnya: "Aku beri kamu ijazah untuk meriwayatkan dariku Shahih Al-Bukhari". Ijazah ada lima jenis:

  1. Ijazah kepada seseorang yang spesifik untuk meriwayatkan sesuatu yang spesifik. Contohnya seperti uangkapan diatas, yaitu: "Aku beri kamu ijazah untuk meriwayatkan dariku Shahih Al-Bukhari." Ini adalah jenis ijazah yang paling tinggi kedudukannya.
  2. Ijazah kepada seseorang yang spesifik untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak spesifik. Contohnya: "Aku beri kamu ijazah untuk menriwayatkan apa yang kamu dengar dariku."
  3. Ijazah kepada seseorang yang tidak spesifik untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak spesifik. Contohnya: "Aku memberi orang-orang yang sezaman denganku ijazah untuk meriwayatkan apa yang mereka dengar dariku."
  4. Ijazah kepada seseorang yang tidak jelas atau sesuatu yang tidak jelas. Untuk yang pertama misalnya "Aku memberi ijazah kepada Muhammad bin Khalid Al-Dimasyqi" sedangkan disitu ada beberapa orang dengan nama yang sama. Untuk yang kedua misalnya "Aku beri kamu ijazah kitab Al-Sunan" sementara sang guru meriwayatkan beberapa kitab Sunan (jadi tidak jelas disini kitab Sunan yang mana yang dimaksudkan).
  5. Ijazah kepada yang belum ada. Misalnya: "Aku ijazahkan kepada Fulan dan keturunannya" atau "Aku ijazahkan kepada keturunan Fulan."

Kedudukannya:

Dari kelima jenis ijazah diatas, jumhur ulama hadits hanya mengakui bolehnya meriwayatkan dan beramal dari ijazah jenis pertama, meskipun sebagian ulama hadits yang lainnya tidak mengakuinya. Adapun keempat jenis ijazah lainnya tentu saja makin hebat perselisihannya diantara para ulama hadits.

Lafazh-lafazhnya antara lain:

  1. "Ajaaza lii Fulanun". Ini adalah lafzah yang paling utama.
  2. "Haddatsanaa ijaazatan" atau "Akhbaranaa ijaazatan". Ini diperbolehkan.
  3. "Anba-anii" atau "Anba-anaa". Ini adalah lafazh yang paling sering dipakai.

Keempat, munaawalah. Ada dua jenis. Pertama, yang diiringi dengan ijazah. Yakni, guru memberikan kitab kepada muridnya dan berkata kepadanya: "Ini riwayatku dari Fulan, maka riwayatkanlah ia dariku", kemudian kitab tersebut menjadi milik sang murid atau dipinjamkan kepada sang murid untuk disalin. Kedua, tanpa ijazah. Yakni, guru memberikan kitabnya kepada muridnya dan berkata: "Ini riwayatku."

Kedudukannya: 

  • Untuk jenis pertama, diperbolehkan meriwayatkan dengan cara ini. Dan derajatnya lebih rendah daripada al-simaa' dan membaca di hadapan guru.
  • Untuk jenis kedua, tidak diperbolehkan meriwayatkan dengan cara ini.

Lafaz-lafazhnya antara lain:

  1. "Naawalanii" atau "Naawalani wa ajaaza lii" (untuk menerangkan munaawalah jenis pertama secara spesifik). Ini lafazh yang lebih baik.
  2. "Haddatsanaa munaawalatan" atau "Haddatsanaa munaawalatan wa ijaazatan". Lafazh ini diperbolehkan.

Kelima, kitabah, yakni guru menulis apa yang ia dengar untuk mereka yang hadir maupun yang tidak hadir. Baik dengan tulisannya sendiri ataupun atas perintahnya kepada seorang penulis.

Kitabah juga ada dua jenis. Pertama, yang diiringi dengan ijazah. Kedua, tanpa ijazah. Untuk yang pertama, misalnya: "Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tuliskan buat kamu atau apa yang aku tulis kepadamu." Untuk yang kedua, sang guru menulis sebuah hadits atau kitab kepada seseorang tanpa menyatakan bahwa dia memberi ijazah kepadanya untuk  meriwayatkannya.

Kedudukannya:

  • Untuk kitab jenis pertama, maka boleh meriwayatkan dengan cara ini. Kedudukannya setara dengan munaawalah yang diiringi ijazah.
  • Untuk yang kedua, sebagian ulama membolehkan periwayatan dengan cara ini dan sebagian yang lainnya menolak.

Lafazh-lafazhnya:

  1. "Kataba 'alayya Fulan"
  2. "Haddatsanii Fulan kitaabatan" atau "Akhbaranii Fulan kitaabatan"

Keenam, i'laam, yakni guru memberitahu muridnya bahwa sebuah hadits atau sebuah kitab adalah riwayatnya.

Kedudukannya: Para ulama hadits berbeda pendapat mengenai kebolehan meriwayatkan dengan cara i'laam:

  1. Boleh. Ini pendapat banyak ulama hadits, ushul, dan fiqih.
  2. Tidak boleh. Ini pendapat tidak sedikit dari para ulama hadits.

Lafazhnya: "A'lamanii Syaikhii bi-kadzaa"

Ketujuh, wasiat, yakni guru mewasiatkan kitab kepada muridnya sebelum kematiannya atau sebelum keberangkatannya dalam safar.

Kedudukannya:

  1. Boleh. Ini pendapat yang lemah, karena mewasiatkan kitab belum tentu mewasiatkan periwayatannya.
  2. Tidak boleh. Inilah pendapat yang lebih kuat.

Lafazh-lafazhnya:

  1. "Awshaa ilayya Fulan bi-kadzaa"
  2. "Haddatsanii Fulan washiyyatan"

Kedelapan, wijadah, yakni murid mendapati hadits atau kitab yang ditulis sendiri oleh gurunya, dan dia tahu pasti bahwa itu adalah tulisannya, namun dia tidak mendengar atau mendapatkan ijazah atas hadits atau kitab tersebut dari gurunya.

Kedudukannya: Meriwayatkan dengan wijadah termasuk munqathi' (sanad yang memiliki keterputusan rantai) namun ada sisi ittishal-nya juga.

Lafazh-lafazhnya:

  1. "Wajadtu bikhath Fulanin" 
  2. "Qara'tu bikhath Fulanin kadzaa"