ImageSejak Eropa mengalami Renaisans hingga saat ini, perkembangan ilmu-ilmu rasional (’aqliyah) dalam semua bidang kajian sangat pesat dan hampir keseluruhannya dipelopori oleh ahli sains dan cendekiawan Barat. Sudah tentu ilmu yang dikembangkan ini dibentuk dari acuan pemikiran falsafah Barat, yang dituangkan dalam pemikiran yang paling berpengaruh yaitu sekularisme, utilitiarianisme dan materialisme. Pemikiran ini mempengaruhi konsep, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri. Sekularisasi yang melibatkan tiga komponen terpadu (penolakan unsur transenden di alam semesta, pemisahan agama dari politik, dan ketidakmutlakan atau relativitas) bukan saja bertentangan dengan fitrah manusia (yang merupakan tashawwur ’world view’ Islam), tetapi juga memutuskan ilmu dari pondasinya dan mengalihkannya dari tujuannya yang hakiki. Karenanya ilmu Barat justru menimbulkan lebih banyak masalah dan kekeliruan daripada melahirkan keharmonisan, kebaikan dan keadilan.

Al-Attas mengungkapkan pandangan ini dengan jitu: ”Ilmu (Barat) telah menimbulkan masalah, sebab ia telah kehilangan tujuan hakikinya karena tidak dicerna dengan semestinya. Akibatnya ia membawa kekacauan dalam kehidupan manusia dan bukannya kedamaian dan keadilan. Ilmu tersebut nampaknya benar tetapi sesungguhnya lebih produktif ke arah kekeliruan dan skeptisme, ilmu yang buat pertama kali dalam sejarah membawa kekacaubalauan isi alam semesta: hewan, tumbuhan dan logam.”

Pemahaman ilmu dan tashawwur Barat ini menular ke negara-negara muslim setelah berlangsungnya penjajahan dimana banyak negara muslim dijajah oleh negara-negara Barat seperti Inggris dan Perancis. Sistem pendidikan yang mereka dirikan juga didukung oleh pandangan hidup Barat. Ini mengakibatkan kekeliruan, dan manusia muslim kehilangan adab.

Sebagian besar sarjana muslim sependapat bahwa sumber kekalutan yang dihadapi oleh umat Islam saat ini terletak pada sistem pendidikan Barat, karena disinilah ilmu disebarluaskan. Mereka semua yakin, penyelesaian kemelut ini terletak pada islamisasi ilmu khususnya ilmu-ilmu kontemporer (modern).

Memandang hal ini, beberapa sarjana muslim seperti S.H. Nasr, Al-Faruqi, C.A. Qadir dan juga beberapa sarjana Kristen Barat seperti Maritain, telah menganjurkan agar sifat kesakralan ilmu dihidupkan kembali, karena tanpanya ilmu hanya menjadi suatu fatamorgana (illusion).

Karena kontradiksi yang jelas antara ilmu Barat dan Islam inilah, ikhtiat terus diupayakan untuk mengatasinya dan mencegah penyebarluasan ide sekular di dunia Islam. Menurut Al-Attas,”Ilmu hendaknya dipadukan dengan unsur-unsur dan konsep-konsep pokok Islam, setelah unsur-unsur dan konseo-konsep asing dikeluarkan dari setiap rantingnya. Proses inilah yang dimaksud dengan islamisasi atau pengislaman.” Beliau juga mengemukakan bahwa islamisasi ilmu ialah penyelamatan ilmu dari penafsiran berdasarkan ideologi sekular dan dari makna dan ungkapan sekular.

Banyak cendekiawan muslim yang prihatin terhadap masalah umat berkecimpung dalam islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer yang mendapatkan momentumnya pada tahun 1980-an, hasil dari ’Kebangkitan Islam Sejagad’ pada penghujung tahun 1970-an dan ’Persidangan Pertama Pendidikan Islam Sedunia’ di Makkah pada tahun 1977 yang dihadiri oleh sarjana-sarjana tersohor.

Sekularisme dan sekularisasi yang mempenagruhi dunia Islam menyentak para sarjana muslim dari ketidakpedulian dan merangsang mereka untuk bertindak. Pada mulanya pembahasan berbentuk penelitian analitis, dimana konsep-konsep yang terlibat seperti ’islamisasi’ dan ’ilmu’ didefinisikan dan dasar-dasar falsafahnya diuraikan. Pembahasan yang berlangsung bahkan melebihi batas yang diperkirakan sebelumnya, meliputi sains sosial, kemanusian (humaniora), dan alam.

 

Sejarah Singkat

Peradaban Islam telah mencapai kemajuan ilmu dalam banyak bidang pada masa permulannya (yaitu pada kurun kesembilan Masehi). Ini terjadi saat Eropa mengalami Zaman Kegelapan. Para sarjana muslim ketika itu telah berhasil menerjemah, menyaring, menyerap dan memadukan ilmu-ilmu asing kealam pandangan mereka yang berdasarkan Al-Qur’an. Ilmu pengetahuan yang merupakan jantung peradaban dan kebudayaan Islam ketika itu telah membimbing umat Islam ke puncak kegemilangannya. Namun sayangnya pada beberapa kurun berikutnya, daya keilmuan dan kekuatan umat Islam mulai pudar karena beberapa faktor.

Malapetaka yang paling besar ialah penyerangan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan ke Baghdad, yang membakar dan memusnahkan perpustakaan dan buku-buku asli karya para sarjana muslim. Namun ada juga faktor internal yang turut berpengaruh, khususnya perselisihan dan konflik pemikiran diantara golongan-golongan umat Islam sendiri. Akibatnya, umat Islam menjadi kurang tajam dan hanya memberi perhatian yang lenih berat terhadap syarah (komentar) karya-karya fiqih dan syariah.

Pengaruh pemindahan ilmu dari Andalusia ke Eropa telah merangsang warga Eropa untuk bangkit dan memelopori berbagai bidang ilmu pada era Renaisans. Mereka mengambil alih tongkat kepemimpinan intelektual dan fisikal dari umat Islam, khususnya pasca Revolusi Industri. Konflik antara golongan gereja dan para ahli sains Barat mencetuskan perkembangan sekularisme dan ilmu-ilmu sekular. Latar belakang sekularisasi ilmu inilah yang mengundang perjuangan memurnikan kembali ilmu-ilmu atau dengan kata lain islamisasi ilmu.

Para intelektual muslim bersepakat bahwa gagasan islamisasi ilmu bukanlah satu hal yang baru, akan tetapi pernah terjadi dalam sejarah Islam yang silam. Namun meski gagasan ini telah dipraktekkan dalam sejarah intelektual Islam, ia tidak diungkapkan secara sistematik hingga zaman mutakhir ini. Hendaknya diketahui, sebenarnya gagasan islamisasi ilmu mempunyai akar dalam tradisi intelektual Islam. Dan dari segi konsepnya ia memang lahir dari doktrin Islam itu sendiri. Wan Muhammad Nor berargumen,”Walaupun pembahasan konsep islamisasi ilmu kontemporer secara sistematik adalah hasil dari paruh kedua abada kedua puluh, namun ayat-ayat terawal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad (Al-Alaq: 1-5) menggariskan dengan jelas semangat islamisasi ilmu ketika Allah menekankan bahwa Dia adalah sumber dan asal muasal ilmu manusia.”

Pada abad III Hijriyah, sejarah menunjukkan pesatnya proses islamisasi ilmu-ilmu Yunani. Karya Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah, merupakan satu contoh unggul usaha islamisasi ilmu asing pada zaman tersebut.

Iqbal, seorang sarjana kenamaan abad silam, pada tahun 1930-an menyatakan sifat ateistik ilmu Barat dan menegaskan perlunya melakukan islamisasi terhadap ilmu tersebut. Hanya saja beliau tidak menjelaskan ide ini lebih lanjut.

S.H. Nasr, seorang sarjana falsafah dan sejarah sains Islam, pada tahun 1960-an juga pernah mengutarakan perlunya usaha islamisasi ilmu modern. Beliau meletakkan asas bagi konsep sains Islam dalam aspek teori dan praktek, melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976).

Ismail Al-Faruqi adalah seorang sarjana muslim yang sangat berjasa dalam menjelaskan dan mengembangkan gagasan islamisasi ilmu melalui karyanya Islamization of Knowledge (1981) yang menggariskan beberapa langkah yang harus diambil untuk merealisasikan usaha ini.

 

Islamisasi Ilmu Menurut Al-Attas

Image
Syed Naquib Al-Attas
Yang dimaksudkan dengan islamisasi ilmu tidak lain adalah islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer atau islamisasi ilmu modern. Yang demikian ini karena ilmu-ilmu kontemporer dan modernlah yang dianggap telah mengalami sekularisasi, karena ilmu-ilmu tersebut ditemukan dan dikembangkan oleh peradaban Barat. Tidak benar jika dikatakan bahwa ilmu-ilmu tersebut dijamin universal dan bebas nilai. Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengatakan,”Ilmu tidak bersifat netral. Ia bisa disusupi oleh sifat dan kandungan yang menyerupai ilmu.” Al-Faruqi juga menegaskan,”Barat mengklaim bahwa sains kemanusiaannya bersifat saintifik disebabkan oleh sifat netralnya, dengan menganggap fakta sebagai fakta dan membiarkannya berbicara untuk dirinya sendiri. Seperti yang sudah kita lihat, ini adalah klaim kosong, karena tidak akan ada satu persepsi teoretis bagi segala macam fakta tanpa persepsi ciri dan hubungan aksiologinya.”

Sumber dan metode penyelidikan di Barat bergantung sepenuhnya kepada kaidah empiris, rasional dan materialistik. Perolehan ilmu melalui wahyu dan kitab suci diabaikan dan dipandang rendah. Ilmu-ilmu Barat tidak berlandaskan nilai-nilai transenden dan juga tidak berkaitan dengan kepercayaan agama. Ilmu-ilmu Barat sudah sepenuhnya menjadi sekular.

Menurut Al-Attas, islamisasi ialah pembebasan akal dan bahasa manusia, dari magis, mitos, animisme, nasionalisme buta, dan penguasaan sekularisme. Ini bermakna bahwa umat Islam semestinya memiliki akal dan bahasa yang terbebas dari pengaruh magis, mitos, animisme, nasionalisme buta dan sekularisme. Islamisasi juga membebaskan manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang cenderung menzhalimi dirinya sendiri, karena sifat jasmani adalah cenderung lalai terhadap hakikat dan asal muasal manusia. Dengan demikian, islamisasi tidak lain adalah proses pengembalian kepada fitrah.

Masih menurut Al-Attas, proses islamisasi ilmu mesti melibatkan dua langkah utama. Pertama, proses mengasingkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Barat dari sebuah ilmu. Kedua, memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam kedalamnya. Sebagaimana kita lihat, unsur-unsur dan konsep-konsep yang membentuk kepribadian dan perwatakan kebudayaan dan peradaban Barat kini telah menular kedalam semua biudang ilmu khususnya sains kemanusiaan dan kemasyarakatan. Bahkan, juga ke bidang sains alam dan terapan, khususnya yang melibatkan penafsiran fakta dan perumusan teori. Adapun unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut adalah: 1) konsep dualisme antara hakikat dan kebenaran, 2) doktrin humanisme, 3) ideologi sekular, 4) konsep tragedi (khususnya dalam kesusastraan).

Sebagai gantinya, Al-Attas merekomendasikan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam, yang terdiri atas: 1) konsep manusia, 2) konsep din, 3) ilmu dan ma’rifah, 4) hikmah, 5) konsep ’adl, 6) amal dan adab, 7) konsep universitas dan komprehensivitas. Semua unsur dan konsep ini hendaknya ditambatkan pada konsep tauhid, syariah, sunnah, sirah dan tarikh.

Al-Attas menolak pandangan bahwa islamisasi ilmu bisa dilakukan dengan sekadar menempelkan unsur-unsur dan konsep-konsep Islam pada unsur-unsur dan konsep-konsep asing non islami yang sudah ada. Beliau mengharuskan unsur-unsur dan konsep-konsep yang asing bagi Islam terlebih dulu dibuang, baru kemudian sebuah ilmu disuntik dengan unsur-unsur dan konsep-konsep Islam.

Tujuan islamisasi menurut Al-Attas adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar dan dengan demikian menyesatkan. Sebaliknya, dengan ilmu seorang muslim diharapkan akan semakin bertambah keimanannya. Demikian pula, islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan dan keadilan bagi umat manusia.

 

Islamisasi Ilmu Menurut Al-Faruqi

Image
Ismail Raji' Al-Faruqi
Dalam karyanya yang masyhur, Islam­ization of Knowledge: General Principles dan Work­plan, Al-Faruqi menjelaskan pengertian islamisasi ilmu sebagai usaha untuk ’men­yusun dan membangun kembali ilmu’ yaitu men­definisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasional­isasi terkait dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan melakukannya dalam kerangka visi dan perjuangan Islam.

Seperti juga Al-Attas, Al-Faruqi me­nekankan pentingnya menyusun dan mem­bangun kembali disiplin sains sosial, sains kemanusiaan dan sains alam dalam kerang­ka Islam dengan memadukan prinsip-prin­sip Islam ke dalam tubuh ilmu tersebut.

Menurut Al-Faruqi, islamisasi ilmu dapat dicapai melalui pemaduan ’ilmu­-ilmu baru’ kedalam khazanah warisan Is­lam dengan membuang, menata, menga­nalisa, menafsir ulang dan menyesuaikan­nya menurut nilai dan pandangan Islam.

Dari sudut metodologi, Al-Faruqi mengemukakan ide islamisasi ilmunya dengan bersandar pada tauhid. Menurut pandangan be­liau, metodologi tradisional tidak mam­pu memikul tugas mi karena beberapa kelemahan. Pertama, metodologi tradisional telah menyempit­kan konsep utama seperti fiqh, faqib, ijtibad dan mujtahid. Kedua, kaidah tradisional  telah memisahkan antara wahyu dan akal, dan selanjutnya memisahkan antara pemikiran dan tindakan. Ketiga, kaidah tradisional membuka ruang bagi dualisme sekular dan agama.

Sebaliknya, Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dasar dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran, metod­ologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prin­sip tersebut ialah (1) Keesaan Allah; (2) Kesatuan Penciptaan; (3) Kesatuan Kebe­naran, (4) Kesatuan Ilmu, (5) Kesatuan Kehidupan; dan (6) Kesatuan Kemanusiaan.

Al-Faruqi melampaui usaha Al-Attas dengan menggariskan satu kerangka kerja sebagai panduan untuk usaha islamisasi ilmu. Beliau menjelaskan lima tujuan dalam rangka untuk islamisasi ilmu yaitu untuk:

  1. Menguasai disiplin modern
  2. Menguasai warisan Islam
  3. Menentukan relevansi Islam yang ter­tentu bagi setiap bidang ilmu modern
  4. Mencari cara-cara sin­tesis yang kreatif antara ilmu modern dan ilmu warisan Islam
  5. Membangun pemikiran Islam ke arah yang me­menuhi tuntunan Allah.

Di samping itu, Al-Faruqi menggaris­kan 12 langkah yang perlu dilalui untuk mencapai tujuan tersebut diatas. Lang­kah-langkah tersebut ialah:

  1. Penguasaan disiplin modern - prinsip, metodologi, masalah, tema dan perkembangannya
  2. Peninjauan disiplin
  3. Penguasaan ilmu warisan Islam: antologi
  4. Penguasaan ilmu warisan Islam: analisis
  5. Penentuan relevansi Islam yang ter­tentu kepada suatu disiplin
  6. Penilaian secara kritis disiplin modern­, memperjelas kedudukan disiplin dari sudut Islam dan memberi panduan ter­hadap langkah yang harus diambil un­tuk menjadikannya islami
  7. Penilaian secara kritis ilmu warisan Is­lam, perlu dilakukan pembet­ulan terhadap kesalahpahaman.
  8. Kajian masalah utama umat Islam
  9. Kajian masalah manusia sejagat
  10. Analisis dan sintesis kreatif
  11. Pengacuan kembali disiplin dalam kerangka Islam: buku teks universitas
  12. Penyebarluasan ilmu yang sudah diislamkan

Dua langkah pertama untuk memas­tikan pemahaman dan penguasaan umat Islam terhadap disiplin ilmu tersebut se­bagaimana yang berkembang di Barat. Dua langkah seterusnya adalah untuk memas­tikan sarjana muslim yang tidak mengenali warisan ilmu Islam karena masalah akses kepada ilmu tersebut mungkin disebab­kan masalah bahasa akan berpeluang un­tuk mengenalinya dan antologi yang dise­diakan oleh sarjana Islam tradisional.

Analisis warisan ilmu Islam adalah untuk memahami wawasan Islam dengan lebih baik dari sudut latar belakang se­jarah, masalah dan isu yang terlibat.

Empat langkah pertama itu seharus­nya dapat menjelaskan kepada cendeki­awan tersebut tentang sumbangan warisan ilmu islam dan relevansinya kepada bidang yang dikaji oleh disiplin ilmu itu dan tujuan kasarnya. Langkah keenam ad­alah langkah paling utama dalam proses islamisasi ini dimana kepatuhan kepada prinsip pertama dan lima kesatuan akan diperiksa sebelum sintesis kreatif dicapai dalam langkah ke-l0.

 

Analisis terhadap konsepsi Islamisasi Ilmu al-Attas dan al-Faruqi

Analisis atas kerangka falsafah al-At­tas dan al-Faruqi menunjukkan bahwa mereka mempunyai asumsi yang sama ber­hubung ilmu. Dan sudut epistemologi, mereka percaya bahwa ilmu tidak bebas dan nilai dan ia semernangnya boleh diperolehi. Tujuan ilmu adalah satu dan sama dan konsepsi ilmu mereka bersan­dar kepada prinsip metafisik, ontologi, epistemologi dan aksiologi, dengan kon­sep tawhid sebagai kuncinya.

Mereka juga yakin bahwa Tuhan ad­a!ah sumber asal segala ilmu; bahwa ilmu adalah asas bagi kepercayaan dan ama! salih. Bahkan, keduanya bersepakat bah­wa akar masalah umat Islam terle­tak pada sistem pendidikan mereka, khususnya masalah dengan ilmu kontemporer, dimana penyelesaiannya terletak dalam islamisasi ilmu pengetahuan kini.

Mereka sepakat dengan konsep Is­lamisasi ilmu kontemporer, yaitu satu pembedahan atas ilmu modern perlu di­lakukan supaya unsur-unsur buruk dan ter­cemar dihapuskan, dianalisa, ditafsir ul­ang atau disesuaikan dengan pandangan dan nilai Islam.

Pada dasarnya sernua pelopor ide Islamisasi ilmu, khususnya al-Attas, al-Faruqi dan Nasr, menyakini bahwa ilmu itu bu­kanlah neutral atau bebas nilai. Tujuan usa-ha mereka adalah sama dan konsep Islam­isasi ilmu yang mereka bawa adalah ber­tunjangkan kepada prinsip metafisik, on­tologi, epistemologi dan aksiologi Islam yang berpaksikan konsep tawhid.

Mereka sependapat sebulat suara bah­wa ilmu Barat khususnya ilmu sains kemanu­siaan, sains kemasyarakatan, dan sains alam modern bersandar pada falsafah dan pan­dangan alam sekuler di mana Allah yang Maha Esa telah dipinggirkan. Dalam kerangka ilmu ini, Allah tidak berperan. Mungkin mereka sependapat dengan Aristotle tentang Tuhan dan penciptaan alam di mana alam ini laksana sebuab jam dan Tuhan umpama pencipta jam tersebut. Set­elah jam itu dicipta, penciptanya tidak mempunyai apa-apa peranan lagi.

Begitu juga, golongan ini mengang­gap bahwa Tuhan tidak lagi mempunyai peran apa-apa setelah Ia mencipta alam yang kini bergerak dengan sendiri mela­lui mekanisma cause dan effect.

Pemikir ini juga sependapat bahwa metodologi ilmu modern ini banyak dipengaruhi oleh metodologi sains alami­ah yang menekankan objektivitas tetapi te­lah melampaui batasan dengan wujudnya golongan berpaham positivistik yang me­nolak segala kenyataan atau hakikat yang tidak dapat dibuktikan secara empirikal.

Dan sudut epistemologi, falsafah yang didukung ini menentang ilmu yang ber­sumberkan wahyu maupun ilham dan cuma menerima akal dan pancaindera. Dengan penerimaan teori evolusi Darwin, sains telah mengenepikan al-Khaliq dan meya­kini bahwa proses alam ini terjadi secara evolusi tanpa Pencipta. Justru itu ilmu modern ini bukannya mengokohkan iman kepada Allah sebagaitnana peranan ilmu yang hakiki dalam pandangan Islam, teta­pi sebaliknya merusakkan dan menyesat­kan aqidah umat Islam.

Namun, terdapat sedikit perbedaan dalam pendekatan al-Attas dan al-Faruqi. Jelas sekali al-Attas mengambil pendeka­tan al-Ghazali dalam aspek penyucian jiwa, dimana beliau menyarankan supaya sifat yang keji dibuang dahulu sebelum jiwa dihiasi dengan sifat yang terpuji.

Al-Attas mencanangkan kaedah pem­bersihan sebelum dilakukan penghiasan. Kaedah beliau amat mudah difahami tetapi memang sukar dilaksanakan tanpa pengua­saan kedua ilmu disiplin modern ataupun warisan Islam seperti yang disarankan oleh al-Faruqi. Malahan, pendekatan ini mem­bimbing manusia yang ingin melaksanakan proses pengislaman ilmu, dengan sendi­rinya telah mengalami transformasi priba­di serta memiliki akal dan rohani yang te­lah menjadi Islami sepenuhnya.

Begitu juga, langkah yang dianjurkan oleh al-Faruqi mungkmn nienghadapi sedi­kit masalah khususnya ketika beliau mer­encanakan agar relevansi Islam terhadap sesuatu disiplin ilmu dikenal pasti dan di­lakukan sintesis. Apabila ini dilakukan mungkin akan terjadi penempelan atau pemindahan saja, yaitu sesuatu yang dikha­watirkan oleh al-Attas.

Bagi al-Attas islamisasi kepribadi­an seseorang individu itu mendahului Islamisasi ilmu. Dibanding dengan al-Faru­qi, al-Attas berhasil nieyakinkan dengan jelas keperluan kepada Islamisasj ilmu pengetahuan sebagai respons terhadap sekularisasi.

Bagaimanapun bagi al-Faruqi faktor utama yang mendorong Islamisasi ilmu pengetahuan adalah kekalutan dan kemun­duran ummah, sistem pendidikan dualistik dan kegagalan metodologi tradisional un­tuk berhadapan dengan realitas modern.

Satu lagi perbedaan yang kentara dalam pendekatan mereka melibatkan ru­ang lingkup ilmu pengetahuan yang ingin dilslamjsasjkan Al-Attas membatasi ilmu pengetahuan yang ingin diislamisasikan kepada ilmu pengetahuan kontemporer. Al-Faruqi yakin bahwa proses Islam­isasi patut juga dilakukan terhadap ilmu turath islamiy seperti yang termaktub dalam kerangka kerjanya.

Bagaimanapun perbedaan yang sangat kentara di antara kedua pemikir ini adalah dalam metodologi bagi proses Islamisasi ilmu itu. Bagi al-Attas, definisi Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri memberi panduan kepada metode perlaksanaannya. Proses ini melibatkan dua langkah, yaitu, proses verIfikasj atau saringan dan proses penyerapan. Beliau tidak menjelaskan prosedur-prosedur yang khusus. Mungkin beliau berkeyakinan bahwa apabila seor­ang individu itu memahanii pandangan Is­lam dan metafmsmknya dan menghayati nilai-nilaj yang sejajar dengan pemahaman tersebut, maka Iogikanya, Islamisasi ilmu pengetahuan akan terjadi. Individu dapat mengetahuj unsur-unsur dan konsep-kon. sep asing serta melakukan pembedahan yang diperlukan.

Al-Faruqi pula merumuskan satu kaidah untuk Islamisasi ilmu pengetahuan berdasarkan Prinsip-Prinsip Pertamanya yang melibatkan 12 langkah. Kaedah al-­Faruqi merangkum sintesis yang kfeatif dan pemaduan konsep ilmu Barat dan Islam yang dirancang dapat menyerap ilmu Is­lam ke dalam ilmu sekuler dan sebaliknya ilmu modern ke dalam ilmu Islam. Teta­pi menurut Al-Attas ini mungkin terjadi hanya setelah menyaringkan unsur dan konsep Barat sekuler.

Perbedaan di antara konsepsi al-Faru­qi dan al-Attas amat jelas berhubung ke­pentingan tasawwuf dalam merumus kon­sep-konsep dasar dalam semua cabang ilmu. Al-Faruqi mengecilkan peranan tasawwuf dan berpendapat bahwa “kero­hanian yang terpancar melalui tasawwuf cuma membawa kepada kelesuan dan karena itu wajar ia dianggap sebagai hal yang tak perlu bahkan merusak.”

Tapi al-Attas menganggap tasawwuf bukan saja penting tetapi perlu bagi pe­rumusan teori ilmu dan pendidikan. Pada pendapat beliau, “... perumusan falsafah pendidikan dan falsafah sains dalam acuan Islam tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan sumbangan besar ulama-ul­ama sufi tentang hakikat realitas.”

Di samping itu, ulama tradisional rnelihat tasawwuf sebagai satu cara untuk memperoleh ilmu kerohanian, dan men­ganggap ilmu kerohanian sebagai cara uta­ma bagi menyelamatkan manusia dan cen­gkaman empirisme, pragmatisme, mate­rialisme dan rasionalisme sempit yang merupakan sumber utama sains modern. Justru itu ilmu kerohanian menjadi cara untuk mengatur pendidikan dan perspe­ktif terpadu dan komprehensif.

Al-Faruqi memberi penekanan kepa­da transformasi sosial dibanding idealisme Sufi yang memberi perhatian kepada perubahan individu. Dia mengutamakan masyarakat dan negara dibanding individu. ini jelas sekali dan penekanan al-Faruqi kepada ummah. Bagaimanapun al-Attas menjelaskan  memang benar ummah dan nega­ra sangat penting dalam Islam, tetapi be­gitu juga dengan individu Muslim, sebab bagaimanakab ummah dan negara bisa dibangun jika individu Muslim tidak me­mahami tentang Islam dan pandangannya dan tidak lagi menjadi Muslim yang baik?

Oleh karena itu, sebagai strategi yang tepat sesuai dengan zaman dan keadaan kita, pentinglah menekankan individu dalam mencari penyelesaian kepada masalah yang kita hadapi danipada mene­kankan masyarakat dan negara. ... Pene­kanan kepada masyarakat dan negara mem­buka pintu sekularisme, ideologi dan pen­didikan sekuler.”

Al-Attas mendukung intuisi sebagai sumber dan metode yang sah bagi metod­ologi saintifik. ini sejalan dengan pandan­gan Nasr yang menegaskan bahwa “intui­si dan penafsiran simbolik dan teks suci memainkan peranan yang penting dalam pemerolehari ilmu saintifik. ini berbeda dengan metodologi sains modern yang tidak mengakui intuisi sebagal metode saintifik... “

Berbeda dengan pandangan ini, Al­-Faruqi menentang keras metodologi tra­disional khususnya yang dipengaruhi oleh tasawwuf yang mendukung metodologi intuitif dan esoterik. Pada pandangannya metode ini menghasilkan pemisahan wahyu dan akal.

Perbedaan pandangan terhadap tasawwuf sebagai metode dan sumber ilmu mempunyai beberapa implikasi bagi kon­sep ilmu, pendidikan dan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer dan islamisasi secara umum.

Seperti yang dijelaskan sebelum ini konsep Islamisasi al-Faruqi lebih mene­kankan masyarakat, ummah atau peruba­han sosio-ekonomi dan politik. Malahan ia lebih gencar menyebarkan ide Islamis­asi ilmu kepada massa melalui aktivitas tetap yang berbentuk seminar, persidan­gan dan membuka beberapa cabangnya di beberapa negara. Konsep islamisasi ilmu pengetahuan al-Attas juga inemberi lebih perhatian kepada individu daripada masyarakat. Baginya perubahan individu­al akan diikuti oleh perubahan dalam masyarakat dan ummah.

Melihat kepada gagasan kedua tokoh pemikir besar ini, mungkin kita boleh mensintesiskan ide mereka supaya Islam­isasi ilmu pengetahuan berlanjutan. Kalau model al-Attas menekankan individu dan model al-Faruqi menekankan masyarakat dan ummah, maka kita boleh menggarap­kan keduanya dalam satu model yang ber­mula dengan individu dan berakhir den­gan ummah. Memanglah tidak wajar pe­rubahan individu menyudutkan ummah dan sebaliknya. Mungkin kerangka kerja al-Faruqi harus diperbaiki supaya tahap pertama memberi perhatian kepada indi­vidu seperti yang dititikberatkan oleh al-Attas, dan tahap kedua kepada ummah.

Oleh karena titik permulaan al-Faru­qi kerap dikritik, maka kita mungkin dapat mengubahnya bermula dengan ilmu warisan Islam. Lagipun mahasiswa dan negara Islam yang mendalami ilmu di Barat yang menjadi tumpuan al-Faruqi pasti sudah diperkenalkan kepada ilmu fardhu ‘ayn dasar melalui sistem pendidikan nega­ra asal mereka. Mungkin kita boleh jadi­kan pemahaman tentang falsafah Islamisa­si ilmu sebagai langkah pertama dalam kerangka kerja al-Faruqi

[Diambil dari majalah Islamia dengan sedikit penyesuaian bahasa].