Sejarah sains memfokuskan kajiannya dengan apa yang terjadi di masa yang lalu berkaitan dengan penemuan-penemuan ilmiah dan juga proses penemuan yang kompleks dan ide yang berkembang dari waktu ke waktu. Fokus ini perlu untuk melihat perilaku suatu masyarakat yang diduga telah memberikan sumbangan terhadap fenomena ilmiah sepanjang sejarah. Dalam rangka inilah suatu peradaban bangsa tertentu patut dihargal atas konstribusinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang saat ini menjadi monopoli Barat dan Amerika.
Banyak penulis sejarah ilmu pengetahuan berpendapat bahwa fenomena ilmu pengetahuan sekarang ini merupakan hasil mutlak dan akal barat dan berusaha mengesampingkan sumbangan bangsa lain. Mereka tertanik dengan keyakinan ini, karena fakta menunjukkan bahwa revolusi ilmu pengetahuan memang terjadi di Eropa Barat. Bagaimanapun, melabelkan semua khazanah ilmu pengetahuan hanya kepada Barat adalah kurang tepat. Padahal pada kenyataannya bangsa dan peradaban lainnya seperti Yunani, Gina, India dan Muslim mempunyai konstribusi yang sangat hebat, baik Iangsung maupun tak langsung kepada fenomena ilmu pengetahuan.
Di antara bangsa-bangsa yang konstribusinya kepada perkembangan ilmu pengetahuan tidak bisa diabaikan sama sekali, adalah orang Muslim dengan peradaban Islam-nya. Begitu pentingnya sumbangan mereka sehingga seseorang bisa berkata dengan yakin bahwa jika orang Muslim tidak melakukan apa yang telah mereka kerjakan dalam berbagai lapangan sains, niscaya revolusi ilmu pengetahuan di Eropa Barat tidak akan pernah timbul pada saat itu. Seseorang juga bisa berargumentasi logis bahwa revolusi ilmu pengetahuan dapat terjadi di dunia Muslim jika saja tidak terjadi peristiwa-peristiwa yang mengganjal perkembangan sains di situ.
Permasalahan yang akan dilihat secara fair dalam artikel ini, adalah menganalisa faktor-faktor apa saja yang menghalangi terjadinya revolusi di dunia Muslim, padahal dibandingkan dengan peradaban lain, mereka telah mencapai tradisi keilmüan yang lebih tinggi. Pada saat yang sama akan dianalisa juga mengapa revolusi tersebut terjadi di Eropa Barat. Untuk mengkaji masalah ini saya mengajukan prosedur berikut. Pertama, secara sekilas saya akan memaparkan tradisi ilmiah (sains) di dunia Muslim, lalu menunjukkan level tinggi yang diperoleh iimuan Muslim, kemudian mendiskusikari peristiwa yang terjadi di dunia Muslim yang mengimbas perkembangan ilmu pengetahuan. Dan terakhir, saya akan menyoroti faktor- faktor yang memfasilitasi peristiwa revolusi ilmu pengetahuan di Eropa Barat. Dan dalam proses ini, saya akan menggarisbawahi sumbangan Islam kepada revolusi itu.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan di Dunia Muslim
Ketika banyak orang berbicara atau menulis tentang dunia muslim, mereka cenderung lebih .membatasinya dengan negaranegara Arab dan pada masyarakat Muslim lainnya. Mereka seringkali membuat pemisahan antara Turki, Persia, Spanyol, Byzantium, dan Arab yang mereka gambarkan secara terpisah, seakan-akan mereka adalah bangsa yang mewakili peradaban yang berbeda. Sedikit sekali orang yang menyadari bahwa peradaban Islam tidak berdiam di tempat yang vakum. Sebaliknya, ia adalah peradaban ekspansif yang merangkul berbagai ras dan bangsa ke dalamnya melalui penaklukan dan propaganda dan berhasil memadukan mereka ke dalam satu tradisi Islam. Menimbang kenyataan ini, saya akan mengkategorikan dunia Muslim sebagai semua komunitas yang menerima pesan-peSan Islam tanpa membedakan jenis rasnya. Dunia Muslim menurut saya terdiri dan semua orang Muslim yang terentang dan Spanyol hingga ke Asia tengah dan seluruh Afrika Utara (termasuk Maghribi) hingga kepulauan Nusantara di Asia Tenggara.
Tradisi ilmiah (sains) dalam masyarakat Muslim mempunyai nilai yang dikenal dengan “Islamis”, adalah dipengaruhi dan kitab suci al-Qur’ãn. AlQur’ãn melalui ayat-ayatnya senantiasa menyeru kepada orang-orang yang ben-man untuk mengobservasi alam semesta dan merefleksikannya. Perintah untuk mencermati gejala alam in membekali pikiran Muslim untuk mengenali dan kemudian menerima semua ide-ide ilmiah yang sudah ada ketika kedatangan Islam. Jadi walaupun banyak tradisi ilmiah Islam yang terbukti mengadapsi dan peradaban lain, tapi perlu dicatat bahwa kondisi pemikiran umat Islam dalam keadaan siap, kondisi beradaptasi semacam ini, bukanlah dan pihak manapun, tapi dan faktor internal ajaran Islam. ini sejalan dengan apa yang diistilahkan oleh H.A.R. Gibb sebagai hukum mengadopsi budaya luar. Dia menguraikan ‘hukum’ tersebut kedalam tiga poin:
Pertama: Pengaruh-pengaruh Budaya (bukan sekadar cangkokan superfisial tapi elemen yang benar-benar terasimilasikan) selalu didahului dengan aktivitas yang sudah mapan dalam bidang yang berkaitan... Aktivitas yang sudah mapan inilah yang menciptakan faktor daya tank yang tanpa itu asimilasi yang kreatif tidak akan terwujud.
Kedua: Elemen pinjaman ini akan turut menyokong vitalitas kebudayaan peminjam sepanjang ia mendorong aktifitas yang menyebabkan peminjam sebagai yang utama. Jika mereka berkembang dengan pesat hingga menggeser atau mengancam menggantikan kekuatan spirit lokal, maka elemen itu bersifat destruktif, bukan konstruktif... budaya yang hidup membolehkan elemen pinjaman berkembang, sepanjang ia dapat beradaptasi dan bergabung dengan kekuatan lokal. Tapi dengan segala kekuatan, budaya yang hidup akan menentang elemen luar yang tumbuh berlebihan.
Ketiga: Budaya yang hidup mengabaikan atau menolak elemen dan budaya luar yang bertentangan dengan nilai fundamental, sikap emosional atau kriteria estetikanya. Akan ada usaha-usaha untuk meniru, tetapi peniruan tidak berarti ‘pengambilan’ dan karena itu (budaya luar itu) pasti akan mati.
Inilah semangat dalam dunia Muslim dalam mengambil ide ilmiah dan dalam waktu yang sama membuang semua yang dipandang tidak sesuai dengan pandangan hidup Islam. Melalui ini, banyak tradisi ilmiah yang diadopsi dan disatukan. Yang paling signifikan di antara tradisitradisi yang diserap orang Muslim adalah tradisi Yunani.Orang-orang Muslim lebih siap menyerap tradisi pengetahuan Yunani bersamaan dengan filsafatnya. Astronomi adalah salah satu ilmu pengetahuan terkuno bagi orang-orang Muslim. Pada awal 750 M, khalifah Bani Abbasiyah, Harun al-Rashid, telah mendirikan observatorium di Damaskus, dimana kajian astronomi dan berbagai eksperimen dilakukan. Banyak ahli astronomi Muslim, seperti Al-Farghani (850 M), A1-Battã-ni (858- ;929 M) dan Thãbit b. Qurra (826-901 M), berhasil membuat eksperimen, teori dan pandangan kosmologi Islam lebih maju. A1-Battãni adalah ilmuwan yang dikenal karena banyak penemuannya dalam teori astronomi ternyata lebih akurat danipada Ptolemy (pakar astronomi Yunani) yang saat itu dominan. Al-Battãni mengontrol nilai dalam kemiringan ekliptik (bagian matahari yang nampak jelas di antara bintang dalam setahun) dan gerakan lambat siang dan malam, jauh lebih akurat daripada teorinya Ptolemy. Dia juga menemukan bahwa ketidakbundaran matahari senantiasa berubah. Kira-kira satu abad setelah dua penemuan itu, di Kairo, Ibnu Yunis (m. 1009 M) menggabungkan dokumen-dokumen penelitian yang dibuat 200 tahun sebelumnya dan menyiapkannya untuk tabel astronomi Hakimite. Di tempat lain dalam dunia Muslim, ahli astronomi Iainnya membuat lebih banyak lagi eksperimen astronomi. Di Spanyol Al-Zarkali (1029-87 M) dan Kordoba merancang tabel astronomi Toledian pada tahun 1080 M.1 yang memodifikasi skema Ptolemic tentang cakrawala dengan menganjurkan perbedaan bundar pada atap ‘epicycie’ planet mercuiy. Ekspenmen lainnya dilakukan oleh Ibn Bãjjah dan Saragossa (m. 1139 M), Abü Bakr dan Granada (m. 1185 M) dan al-Bitruji (m. 1200-an M). Kemajuan orang-orang Muslim dalam bidang astronomi lebih signifikan dan ini adalah bukti dan banyaknya observatorium yang dikonstruksi oleh dunia Muslim.
Di samping yang telah ada di Damaskus and Baghdad, ada lagi observatonium terkenal: seperti di Raqqa yang dibangun oleh al-Battãni~ di Shiraz yang dibangun oleh ‘Abd Ralimãn Al-Sufi; di Hamadãn, yaitu yang dipakai oleh Ibn Sinai satu lagi di Maragha yang dibangun oleh Hulagu Khan pada tahun 1261 M. dan digunakan oleh Nashr al-Din al-Tusi. Di samping itu ada juga di Samarkhand yang dibangun oleh Ulugh Beh dimana para ilmuwan seperti: Qadizallah, Au Qush and Ghiyath at-Din al-Khashani menghasi!kan banyak kajian astronomi dan eksperimen. Murad, seorang Sultan Utsmaniah juga membangun observatorium di Istanbul untuk pakar astronomi istana, Taqiyyuddin. Di samping para astronomer individu tadi, terdapat juga kelompok Ikhwãn al-Safa’ (the Brothers of Purity) yang mengkompilasi karyakarya ilmiahnya yang dikenal dengan rasa-il ikhwãn al-Safa’. Dalam karya ini, mereka mengembangkan teori-teori astronomi dan kosmologi Iamnnya seperti: astrologi, meteorologi, geologi dan geografi. Kelompok ini, yang identitas sebenarnya masih kontroversial, hidup sekitar tahun 950-1030 M. Mereka adalah sekelompok ilmuwan tersembunyi yang mendiskusikan isu-isu sains dan filsafat.
Disiplin ilmu yang senantiasa berkaitan dengan astronomi adalab bidang matematika. Sudah menjadi fakta bahwa kebanyakan pakar astronomi di dunia Muslim adalah pakar di bidang matematika. Contohnya adalah alKhawãrizmi (m. 835 M), Ibn AbU ‘Ubaida dari Valencia, Maslama al-Majriti dan al-Andalus. (m. 1007 NI), dan ‘Umar al-Khayyãm (1048-1132 M), mereka semua ahli matematika dan sekaligus astronomi. Kontribusi mereka dalam matematika Sebagai ilmu pasti sungguh tidak tertandingi selama abad pertengahan. Contohnya adalah Umar al-Khayyãm, yang dikenal dengan karya kalender Jalali-nya yang sempurna dan dipakai di Persia untuk penanggalan. Karya beliau ini dipercayai lebih akurat dibanding kalender Gregorian (kalender yang diperkenalkan oleh Pope Gregory XIII pada tahun 1582).
Orang Muslim juga menonjo! dalam bidang sains Iainnya, yaitu Kimia. Disitu ada Khalid b. Yazid, cucu dan khalifah pertama Bani Umayyah. Mu’awiyah adalah pakar kimia pertama dalam dunia Muslim, kemudian diikuti oleh Ja’far Muhammad al-Sadiq (m. 765 M). Pakar kimia terbesar dalam dunia Muslim adalah Jãbir b. Hayyãn (m. 776 M) yang memiliki karya-karya yang terdiri lebih dan 500 risalab yang hampir kesemuanya benisi tentang ilmu Kimia dan 40 di antaranya masih bisa dijumpai hingga saat ini. Mengomentari karya Jãbir, C. I Figuirin mengatakan ini:
Adalah hal yang mustahil jika menafikan peranan ilmu Kimia dalam perkembangan fisika modern saat ini. Para pakar kimia adalah yang pertama kali yang mempraktekkan metode eksperimen. Lebih lanjut, dengan menyatukan angka logis dan sejurnlah fakta dan penemuan dalam aksi molekul suatu benda, mereka telah mengusung kimia modern lebib awal pada
Razi abad kedelapan Masehi. Geber (Jãbir) telah mempraktekkan kaidah-kaidah aliran eksperimen. Karya Geber The Suni of all Perfection and the Treatise on Furnaces, berisikan laporan tentang perkembangan dan operasi yang mengkonfirmasikan metode ini, dan ini dalam investigasi kimia).
Al-Rãzi adalah pakar kimia yang karyanya the Secret of secrels, berisi keterangan yang sangat jelas tentang proses kimia dalam topik-topik seperti peleburan baja, sublimasi, pengolahan caustic soda, amonia, sodium dan ammonium suiphide, pengolahan glycerin dan minyak zaitun, dst. Al-Iraqi adalah juga contoh pakar kimia terkemuka lainnya. Tokoh-tokoh terse-but (dan masih banyak lagi) yang tidak dmragukan lagi memiliki sejumlah karya yang sangat penting bagi kimia modern dan menjadi topik inti dalam sains.
Fisika juga merupakan cabang sains yang tumbuh subur di kalangan dunia Muslim semasa abad pertengahan yang melukiskan tradisi sains yang tinggi dalam umat Islam. Karya yang sangat penting dalam lapangan ini dihasilkan oleh para ilmuwan Muslim seperti1 Qutb Al-Run Al-Shirazi, Ibn al-Haitham (Alhazen) dan al-Biruni. lbn al-Haitham adalah murid terbesar Ptolemy dan Witelo dalam bidang optik. Beliau membuat penemuan yang penting dalam kajian gerakan, seperti prinsip inertia (kelembaban) dan mentrasformasikan kajian optik ke dalam sains baru. Beliau melakukan eksperimen untuk menentukan gerakan yang berbentuk garis lurus pada cahaya (rectilinear motion of light), sifat bayangan, kegunaan lensa, kamera obsura yang semuanya dia kaji secara matematis untuk pertama kalinya, serta banyak lagi kajian penting dalam fenomena optik. Dalam pembiasan, beliau rnengusulkan kecepatan empat persegi panjang pada permukaan pembiasaan beberapa abad sebelum Newton menemukan prinsip “least time”. Al-Birüni adalah pakar Fisika yang terkenal dengan penentangannya terhadap aliran Fisika Aristoteles, khususnya pada gerakan dan ruang (motion and space) yang beliau serang bukan hanya dengan rasio semata tapi juga dengan observasi. AlBirüni dipercayai mempunyai peninggalan dalam tradisi Fisika yang mendorong lahirnya kajian mekanik, hydrostatik dan cabang-cabang sains yang berkaitan. Ilmuwan Muslim seperti lbn Bajja rnengikuti jejak al-BirUni dan mengembangkan teori “inklinasi” yang diikuti peletakan dasar teori daya dorong lainnya dan konsep momentum yang ke‘mudian dijabarkan oleh para ilmuwan barat setelah abad pertengahan.
Filsafat natural (natural philosophy) juga tumbuh subur di dunia Muslim. Di antara tokoh-tokohnya adalah; Ibn Sina, a!Farãbi, al-Kindi, al-Birüni, Ibn Rushd, Ibn Bajja, al-Ghazzãli dan tokoh-tokoh lainnya yang membuat sumbangan yang besar kepada filsafat natural. Sebagian diantara mereka sangat rajin mendukung filsafat natural Aristoteles baik dengan kata maupun ayat, seperti halnya kasusnya dalam filsafat peripatetik. Namun sebagian lainnya, seperti Al-Ghazzãli, mengambil posisi bersebelahan dan terkadang sangat radikal menyikapi au-ran filsafat Aristoteles. Para pakar filsafat natural inilah yang bertanggungjawab dalam menterjemahkan filsafat Yunani kedalam bahasa Arab dan kemudian mengusungnya ke Barat. Sumbangan mereka pada tradisi ilmiah Islam tidak kurang penting daripada sumbangan para pakar Fisika, Kimia, Matematika, Astronomi dan dokter. Mereka merupakan pakar yang benar-benar menguasai banyak disiplin ilmu. Ibn Sina dan al-Ghazzãli adalah filosuf besar, sebagaimana juga dikenal sebagai ahli Fisika tersohor. Karya mereka di bidang kedokteran tidak kálah pentingnya dibanding dengan karyanya di bidang filsafat.
Dan pemaparan sinopsis tradisi sains Muslim di atas, membuktikan bahwa penemuan-penemuan ilmiah, eksperimen dan teori yang pernah dilakukan ilmuwan Muslim bukanlah sempit. Sungguh tradisi mereka sangat komprehensif Untuk mendukung lahirnya revolusi ilmu pengetahuan. Kenapa kemudian revolusi sains semacam ini tidak muncul di kalangan Muslim?
Faktor-faktor yang Merintangi Perkembangan Sains di Dunia Muslim
Banyak kalangan ilmuwan, baik para kritikus maupun apologetis, dengan berbagai argumentasi berusaha menjelaskan mengapa revolusi sains tidak terjadi di dunia Muslim? Bukan maksud saya untuk mengangkat kembali argumentasi mereka, tapi suatu penelitian diperlukan untuk membuat kritik atas argumentasi para kritikus yang menuduh bahwa tabiat Islam sebagai suata agama adalah yang bertanggung jawab atas kegagalan ini. Pervez Amrali Hoodbhoy kiranya adalah orang yang paling memperolok-olok dengan kritikannya yang cenderung kepada tuduhan yang tak terbantahkan. Dalam usahanya mengumpulkan argumentasi atas kegagalan revolusi sains terjadi di dunia Muslim, dia menyinggung filsafat Islam sebagai berikut:
Masyarakat yang berorientasi pada doktrin Jatalisme, atau seseorang yang terlalu diintervensi oleh Tuhan dan yang merupakan bagian dan matrik sebab akibat (kausalitas), terpaksa menghasilkan individu-individu yang kurang berhasrat menyelidiki hal-hal yang tidak diketahui dengan piranti sains.
Kemudian Amrali selalu menyindir bahwa tabiat hukum Islam te!ah mengobarkan permusuhan selama berabadabad terhadap elemen-elemen kapitalis yang dia anggap sebagai prasyarat perkembangan sains. Penjelasan semacam ini, yang sama sekali tidak berdasar dan merupakan distorsi fakta Sejarah dan pandangan keliru terhadap Muslim dan filsafat Islam.

“Risalah termasyur al-Ghazali pada abad 5H/IIM yang mengkritik filosuf rasionalistik pada zamannya, menandai kemenangan akhir pemikiran intelek terhadap rasio-logika yang independen - sebuah kemenangan yang tidak menghancurkan filsafat rasionalistik sama sekali - menjadikannya berhubungan dengan pengetahuan rohani/batin. Dengan hasil kekalahan dan penaklukan yang dilakukan oleh al-Ghazali dan tokoh-tokoh penganut silogis dan sistematis filsafat Aristoteles di abad 5 H/i I M, tradisi ilmu rohani Islam bisa bertahan hidup hingga saat ini dan tidak tercekik seperti lainnya dalam atmosfir yang terlalu rasionalistik.”
Jikalau kritik dan apologi ditolak, maka dimanakah keberadaan argumen .yang tepat untuk menjelaskan keadaan yang menyedihkan atas fenomena sains dalam dunia Muslim khususnya setelah abad 1 3 M? Mengilas balik faktor eksternal dan internal mungkin dapat menunjukkan jawaban pertanyaan ini.
Secara eksternal, dua invasi yang berdampak permusuhan telah dilakukan terhadap dunia Muslim. Kedua invasi ini adalah invasi bangsa Mongolia dan kaum Salib. l3angsa Mongolia dikenal sangat biadab, penghasut perang yang primitif yang banyak menggarong kota dan menghancurkan berbagai peradaban yang telah lama kokoh, mulai dan Cina sampai Eropa Timur. Gerombolan yang biadab ini kemudian menyerang Timur Tengah dan menguasainya selama setengah abad (1218-1268 M). Selama penode ml mereka tidak hanya meneror masyarakat tapi juga terlibat aktif dalam menghancurkan struktur-struktur penting yang merupakan hasil sains yang agung. David Nicolle menggambarkan kerusakan ini sebagai berikut:

Ujian selanjutnya dan invasi Mongolia sungguh merupakan tabiat perusakan yang lebih parah dan pada perusakan kota. Mereka adalah bangsa yang berlatarbelakang pengembara. Dimana pun mereka berpindah, mereka membawa kuda dan keledai yang tidak diberi makan dengan makanan ternak, tapi digembalakan di padang rumput. Akibatnya bangsa Mongolia tidak bisa jauh dan daerah pinggiran, ketika mereka menaklukkan kota manapun. Maka dari itu mereka tidak segan melenyapkan penduduk yang sudah terbiasa dengan pertanian dimana kota tempat kerja sains bergantung.
Konsekwensi nyata dan fenomena semacam ini adalah kehidupan masyarakat yang tertimpa invasi menjadi kehilangan harmoni dan tidak menentu arahnya. Nicolle menggambarkan invasi Mongolia terhadap daerah-daerah Muslim Sebagai berikut:
“Setelah menaklukkan Baghdad, Hulegu membawa pasukannya kembali ke Azerbeijan, suatu kawasan jauh utarabarat yang sekarang masuk wilayah Iran. Di daerah tersebut terdapat padang rum-put yang sangat luas yang disediakan untuk makanan kuda-kuda bangsa Mongolia, sementara kota Maragha dan Tabriz disiapkan sebagai kota administra si. Istana Hulegu selalu berpindah-pin dah dan seluruh area dijadikan sebagai base-camp yang sangat besar bagi tentara predatornya. Begitulah fungsi Azerbeijan dan Hamadan sepanjang sejarah.”
Jadi, invasi Mongolia yang penuh dengan teror telah melepaskan ikatan masyarakat Muslim dengan segala bentuknya untuk memper~lambat semua formalitas peradaban termasuk perkembangan sains. Tidak hanya pusat-pusat studi yang dirusak dan ilmuwannya yang dibunuh atau dibuat panik, tapi juga semua tempat yang nyaman untuk penciptaan sains diganggu dengan hebatnya.
Efek yang sama juga dirasakan oleh dunia Muslim dengan invasi kaum Salib. ini adalah kelompok lain dan penghasut perang yang dilancarkan oleh Paus di awal abad 13 M yang kononnya bermaksud membebaskan Jemssalem dan tangan Muslim. Berkali-kali perang Salib didengungkan selama 2 abad (1095-1290 M). Seperti halnya bangsa Mongolia, kaum Salib juga menjarah kota-kota Muslim, membunuh dan meneror penduduknya kemudian mengganggu ketenangan tempat-tempat yang kondusif bagi perkembangan sains.
Sedangkan dan sisi internal, yang paling rasional atas kemandegan sains di dunia Muslim adalah kegagalan pemimpin memanfaatkan dan mengkoordinasikan disiplin ilmu sains. Semenjak awal, filosof dan ilmuwan sains Muslim sangat independen tanpa bantuan yang memadai dan khalifah atau Sultan. Konstruksi khalifah Mamun di Bayt alHik,nah sekitar tahun 200 H/815 M, di mana terdapat perpustakaan dan observatorium adalah permulaan yang baik tapi tidak diteruskan oleh khalifah berikutnya. Di samping itu Bayt al-Hikmah lebih merupakan pusat riset dan pada institusi pengajaran. Walaupun banyak pusat-pusat kajian yang dijumpai di dunia Muslim, seperti: Ddr at- ‘Jim di Kairo (395 HI 1005 M), Nizhãm al-Mulk di Baghdad (459 H/1067 M) dan Madrasah Granada (750 H/1349 M), tapi semua institusi ini tidak memperhatikan masalah filsafat natural dan ilmu pasti secara murni. Hal ini berakibat pada kegagalan melembagakan filsafat natural dan sains. Filosuf natural dan ilmuwan sains Muslim !ebih nampak sebagai mndividu-individu terpisah dan pada sebagai satu badan yang terorganisir. Mereka mempelajari filsafat secara privat dan walaupun sudah bertugas di istana khalifah, mereka jarang didukung dengan kebijakari pemerintah untuk mengajar filsafat natural dan sains di Madãris. Ilmuwan lainnya yang tidak mempunyai akses dengan istana, mereka bebas mengajar di halaqah-halaqah mereka sendiri dimana para murid datang sendiri dan mendapat untuk belajar sampai tamat dengan mendapatkan ijazah yang menjadi lisensi mereka untuk mengajarkan ajaran-ajaran gurunya. Sistem pendidikan ini mempunyai masalah dan keterbatasannya sendiri. Guru terbatas dengan idenya sendiri sementara para murid hanya mempunyai akses kepada ide gurunya saja. Kondisi diskusi yang kondusif sesama teman sekolah atau memanfaatkan calon-calon ilmuwan hampir tidak tercipta di sini. Kondisi seperti ini hanya dapat tercipta jika jika sebuah institusi akademi dan universitas didirikan. Dengan akademi, murid akan terekspos pada bidang disiplin ilmu yang bermacam-macam dan oleh guru yang berlainan, dengan cara sistematis yang memakai prosedur dan standar tertentu yang hams dilalui oleh para murid sampai tamat masa belajarnya. Dalam kerangka seperti inilah sains dapat diinstitusionalisasikan dalam rangka memenuhi penelitian sains yang terkoordinasi sehingga berkembang menjadi revolusi sains.
Jadi menurut saya, kegagalan revolusi sains dalam dunia Muslim secara in ternal lebih disebabkan oleh metode atau organisasi daripada aspek teologi. Hal ini bukanlah tabiat Islam yang menyebabkan kegagalan Muslim dalam revolusi sains itu, tapi karena masalah organisasi yang bersamaan dengan faktor eksternal yang sudah dibicarakan di atas. Siapa tahu, jika bangsa Mongolia dan kaum Salib tidak menghancurkan lahan-lahan kaum Muslim, maka mereka pasti akan dapat merealisasikan kebutuhannya dalam meletakkan institusi yang terorganisir untuk mempromosikan pendidikan sains dalam skala yang lebih komprehensif.
Fakfor-fakfor yang Memudahkan Perkembangan Sains di Eropa
Tidak dapat diragukan bahwasanya tradisi sains di Eropa berhutang banyak kepada dunia Muslim. Di saat dunia Muslim telah berhasil memunculkan saintissaintis besar dan mengembangkan tradisi keilmuan dan intelektual, orang Eropa saat itu masih merana dan terbelakang jauh di punggung sejarah keilmuan. Para penulis Eropa sendiri menandakan pen-ode ini (900-1500-an M) sebagai kegelapan yang melambangkan keterbelakangan Eropa d.alam sains dan intelektual. Jadi dapat dikatakan bahwa faktor pertama dan utama yang membantu perkembangan sains di Eropa adalah hasil jiplakan dan peradaban Islam. Hasil jiplakan itu merupakan ketetapan teoriteori sains yang berwujud sebagai paradigma dasar dalam perkembangan sains di Eropa dan titik puncaknya dan semua itu adalah revolusi sains sekitar abad 17. Edward Grant, saiah satu ilmuan kontemporer dalam Sejarah sains tidak hanya mengetahui fakta itu tetapi juga mengakuinya. Hal ini dapat diketahui dan catatanya berikut:
Revolusi sains tidak akan terjadi di Eropa abad 17 M jika standar sains dan filsafat natural masih setaraf sains pada pertengahan pertama abad 12 M, yaitu sebelum adanya penerjemahan sains Yunani-Arab di pertengahan akhir abad itu. Tanpa penerjemahan yang mengubah kehidupan intelektual Eropa itu dan beberapa peristiwa setelahnya, Revolusi sains abad 17 mustahil dapat terwujudkan.
Jadi, penerjemahan sains dan filsafat Yunani-Arab natural ke dalam bahasa Latin merupakan syarat awal yang mutlak diperlukan dalam upaya kemunculan tradisi keilmuan di Eropa. Poin penting dan faktor ini patut digarisbawahi, seperti yang diungkapkan Grant berikut:
“Dikarenakan pentingnya karyakarya terjemahan itu, peradaban Islam hams dibeni temp at yang memadai dalam sumbangsihnya dalam pencapaian dunia Barat dalam bidang sains. Beberapa abad sebelumnya, ilmuwan Muslim telah menerjemahkan sebagian besar sains Yunani ke dalam bahasa Arab dan kemudian memberi tambahan dan kontnibusi yang banyak terhadap aslinya sehingga terbentuk apa yang sekarang dinamakan sains Yunani-Arab (Yunani-lslam), dimana terdapat karya-karya Aristoteles, berikut dengan karya komentar atasnya. Sebagian besar kerangka keilmuan ini kemudian ditransfer ke dunia Barat Secara terus-menerus. Meskipun sains di Barat bisa saja berkembang tanpa mengambil peninggalan Yunani-lslam, akan tetapi sains modern sudah pasti harus menunggu berabad-abad lagi untuk lahir, atau mungkin masih berdiam dalam rahim masa depan.
Sangatlah penting menggarisbawahi pengakuan Grant bahwa orang Muslim ‘memberi banyak tambahan dari teks aslinya” untuk ide-ide Yunani sebelum di-transfer ke Barat - sebuah fakta yang tidak diakui oleh banyak ahli sejarah sains Barat yang subjektif. Seandainya saja orang-orang Islam tidak memberikan tambahan apa-apa, sudah tentu mereka sekarang tidak akan membuat klaim-klaim penting terhadap fenomeria sains saat ini.
Sebenarnya, Edward Grant bukan satu-satunya yang mengakui kontribusi besar dan orang Muslim kepada tradisi sains dan keilmuan Eropa. Sebelumnya sudah ada Goichon AM. Dalam Encyclopaedia of Islam, entry “lbn Sina”, dia mengatakan:
Transmisi sains Yunani oleh orang Arab (baca Muslim) ke dalam bahasa Latin melahirkan pencerahan (renaissance) pertama di selatan Eropa mulai abad 10 di Sisilia, kemudian abad 12 di sekitar Toledo dan tidak lama kemudian di Perancis. Dua karya utama Ibn Sina, Shifa’ dan Qanün, menjadikannya master tanpa tanding dalam bidang kedokteran, ilmu pengetahuan alam dan filsafat. Sejak abad 12 hingga 16 M, pengajaran dan praktek kedokteran [di Eropa] merujuk padanya. Karya Abu Bakar Muhammad bin Zakariyya al-Rãzi juga terkenal dan dia sendiri dianggap ahli klinik terbaik tetapi buku Qanün tetap menjadi Korpus pengajaran yang tidak tergantikan karena buku Ibn Rushd Kitãb al-Kulliyydt fi al-Tibb hanya memuat masalah bagian pertama Qanin. Karya lbn Rushd tersebut telah diterjemahkan seluruhnya oleh Gerard dan Cremona antara tahun 1150 dan 1187 M. Ada 87 terjemahan karya itu dan beberapa di antaranya merupakan terjemahan sebagian.
Setelah mewarisi pradigma keilmuan dasardari orang Muslim, orang Barat kemudian membekali dirinya dengan ilmu yang dengan segala cara bertransformasi agar siap menyambut revolusi sains. Proses terpenting dan transformasi keilmuan ini adalah institusionalisasi. Orang Eropa lantas membentuk institusi universitas. Aktivitas inilah yang menjadi fondasi sains modern sejak abad pertengahan hingga sekarang ini.
Di univeristas, dapat dilihat bagaimana ilmu sains dan filsafat itu diatur dengan baik. Pengajar dan pelajar betul-betul memanfaatkan kesempatan yang sangat berguna ini. Mereka tidak hanya saling bertukar ilmu pengetahuan tetapi juga membuat penyelidikan lanjutan di dunia ilmu pengetahuan. Filsafat natural ternyata lebih unggul di Barat karena dapat menyerapkan karya-karya filsafat agung kedalam dunia pengetahuan. Elernen penting lainnya dalam kelembagaan ini ialah adanya kebebasan yang dinikmati oleh pengajar dan pelajar di universitas. Meskipun para guru mempunyai kesempatan untuk mempunyai pelajar dan Iatarbelakang yang mapan, para murid tidak terikat atau terpaksa bergantung kepada satu guru saja. Pada saat yang sama, para pelajar dapat mempunyai lingkup mata pelajaran yang luas dimana mereka akan memilih spesialisasi. Di samping ilmu filsafat natural dan logika, para pelajar juga dikenalkan dengan ilmu-ilmu eksakta seperti aritmatika, geometri, musik, dan astronomi, yang menjadi mata pelajaran untuk tingkatan sarjana muda (baccalaureate) and Master (Master of Arts). Dua jenjang ini dan digabungkan dengan banyaknya waktu yang dihabiskan pelajar di setiap jenjang tersebut sebelum kelulusan, merupakan indikasi bagaimana proses pembelajaran di dunia Barat menjadi begitu terorganisir dan maju. Hampir semua pelajar di universitas sama-sama dikenalkan dengan kajian ilmiah. Jadi, Sebagai lembaga yang bertanggungjawab dalam memproduksi dan melipatgandakan ilmuwan-ilmuwan masa depan, universitas, dengan segala sarananya dibentuk untuk memfasilitasi dan memastikan berkembangnya sains di bagman dunia itu.

Di luar faktor-faktor utama di atas, secara umum kondisi di Barat mendukung aktifitas keilmuan. Di antara yang terpenting ialah suasana damai di Eropa menjelang abad 17 M. Pada umumnya adanya stabilitas sosial dan politik juga berarti adanya stabilitas mental, dan tanpanya kemajuan mntelektual tidak akan wujud. Eropa Barat tidak pernah mengalami terror seperti yang dilakukan bangsa Mongol dan pasukan Salib terhadap dunia Muslim. Kemakmuran ekonomi juga berkaitan erat dengan susana damai di Eropa. Negara kota di sana pada urnumnya lebih makmur dibandingkan dengan kesultanan di dunia Muslim. Di Eropa saat itu terkenal dengan perusahaan pribadi yang maju dan golongan pengusaha yang kaya raya. Pengusahapengusaha ini menjadi penopang kernak muran bagi semua jenis kehidupan. Orang Eropa menemukan dunia melalui lautan dan daratan, bukan hanya sekadar rencana untuk mewadahi lahirnya ide-ide gemilang dan mengalirkan kemakmuran ekonomi, tetapi juga sebuah petualangan untuk pencarian ilmu pengetahuan. Eksperimen-eksperimen mahal disponsori dan banyak sekali aktivitas belajar yang dibiayai. Bahkan sebenarnya, pendanaan universitas itu sukses sebagiannya karena orang Eropa banyak yang makmur.
Dengan berbekal kondisi yang sangat menguntungkan itu, maka masuk di. akal bahwa revolusi ilmu pengetahuan terjadi di Eropa pada abad 17 M.
Kesimpulan
Munculnya revolusi ilmu pengetahuan di Eropa abad 17 merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dibantah. Meskipun begitu, kita perlu mendudukkan fenomena sejarah keilmuan yang penting ini secara wajar, dengan begitu perlu melihat proses dan kejadian beberapa abad sebelum puncak revolusi. Sebagainiana telah kita gambarkan di atas, tidak benar jika dikatakan bahwa fenomena saintifik sepanjang abad-abad itu adalah hasil usaha orang Eropa sendiri. Di bagian lain dunia, khususnya di dunia Islam, sumbangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan tidak kalah pentingnya. Sumbangan mereka sepenting elemenelemen lain yang bergabung satu sama lain demi wujudnya revolusi. Persoalan mengapa revolusi itu tidak timbul di tengah-tengah mereka hanyalah sebuah kebetulan sejarah belaka. Faktor-faktor yang telah kami uraikan di atas untuk menjelaskan kemunculan ilmu pengetahuna di Eropa hendaknya jangan dianggap ekslusif untuk Eropa saja. Apapun halnya, revolusi sains hanya terjadi sekali dalam Sejarah dan itu tidak memungkinkan kita membuat perbandingan. Misalnya, peranan yang dimainkan universitas di Eropa boleh jadi telah dilakukan juga o!eh institusi tertentu di tempat lain. Tentunya revolusi sains dapat juga terjadi di China atau bahkan India, tetapi karena ia terjadi hanya di Eropa, maka kita terpaksa mempercayai bahwa suasana dan prilaku saintis Eropa-lah yang mendorong terjadinya revolusi.
Sikap para Muslim ahli teologi terhadap filsafat hendaknya tidak dibesarbesarkan sebagai penghalang kemajuan aktifitas sains di dunia Islam. Untuk hal ini saya perlu menyikapinya dengan menyepakati Gibb tentang hukum mengadopsi budaya luar, yang mengatakan bahwa ‘kebudayaan yang hidup dapat meminjam elemen-elemen asing untuk berkembang sebatas bahwa ia dapat diadaptasikan dan dipadukan dengan kekuatan-kekuatan lokal. Tetapi dengan segala kekuatan dalam menahan pertumbuhan pesat yang berlebihan, kebudayaan yang hidup juga mengabaikan atau menolak elemen-elemen kebudayaan asing yang bertentangan dengan nilai-nilai fundamental, sikap emosional atau kriteria estetikanya. Dan ini persis dengan apa yang dilakukan para mutakallimun terhadap filsafat Yunani dalam batas-batas pandangan hidup Islam.
[Diambil dari majalah Islamia dengan sedikit penyesuaian bahasa]