Muamalah adalah keniscayaan. Hanya saja, Islam mengatur bahwa muamalah harus didasarkan pada prinsip-prinsip kebaikan dan jauh dari berbagai keburukan. Diantara prinsip-prinsip muamalah dalam Islam adalah sebaga berikut.
Ke-1, segala sesuatu di alam semesta, bahkan diri kita, pada dasarnya adalah milik Allah. Dialah Pemilik yang sebenarnya dari segala sesuatu. Allah memberikan harta kepada manusia dan melebihkan harta sebagian orang diatas sebagian yang lainnya dalam rangka untuk menguji atas apa yang Allah telah berikan. Allah hendak menguji apakah harta yang diberikan akan digunakan untuk taat kepada-Nya ataukah justru untuk maksiat kepada-Nya. Allah hendak menguji apakah seseorang hendak berbagi dengan sesamanya ataukah menahan hak mereka yang membutuhkan.
Ke-2, asas kebolehan. Hukum asal muamalah adalah boleh, sampai ada larangan.
Ke-3, asas kehalalan usaha dan transaksi. Harta harus dicari dengan cara yang halal kemudian dibelanjakan dan ditransaksikan dengan cara yang halal pula.
Ke-4, asas kehalalan harta. Jangan memperjualbelikan harta yang haram, misalnya khamr, daging babi, transaksi zina, dan sebagainya.
Ke-5, asas kebebasan. Seseorang pada dasarnya bebas untuk memilih dengan cara apa ia mencari harta sepanjang dengan cara yang halal, dan bebas pula bagaimana ia men-tasharruf-kan/membelanjakan hartanya sepanjang itu transaksi yang halal.
Ke-6, asas kerelaan/sukarela. Transaksi muamalah mesti didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak, tanpa ada paksaan.
Ke-7, asas kejujuran. Seseorang harus jujur dalam melakukan muamalah. Tidak menyembunyikan aib atau cacat pada barang yang ditransaksikan.
Ke-8, asas keadilan. Sesama manusia harus diperlakukan dengan adil, terlepas dari jenis kelamin, ras, warna kulit, dan sebagainya. Namun, adil tidak selalu bermakna sama rata. Misalnya, kewajiban laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga tidak sama persis, menyesuaikan dengan kodrat masing-masing.
Ke-9, asas tidak menzhalimi. Tidak menyakiti orang lain. Tidak mengambil atau mengurangi hak orang lain. Tidak merampas hak orang lain. Tidak mengurangi timbangan. Tidak menipu orang lain. Tidak mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Dan sebagainya.
Ke-10, asas tidak mengundi nasib (perjudian). Perjudian diharamkan dalam Islam. Perjudian disebut maysir, berakar dari kata yusr yang artinya mudah, karena dengan perjudian orang berharap mendapatkan harta yang banyak dengan cara mudah, tanpa perlu bersusah-payah. Islam mengajarkan agar kita bekerja dan berusaha untuk mendapatkan harta kekayaan.
Ke-11, asas tidak adanya gharar. Gharar artinya ketidakjelasan. Karenanya kita dilarang melakukan praktek jual beli ijon atau memperjualbelikan barang yang masih tidak jelas spesifikasinya.
Ke-12, asas tidak adanya riba. Riba pada dasarnya adalah kezhaliman, dengan cara mencekik orang yang berhutang karena tanggungan pinjamannya bertambah dari apa yang sebenarnya ia pinjam. Riba juga pada dasarnya adalah ketidakadilan dan menyebabkan kerugian pada orang lain, karena memperjualbelikan barang yang sama (barang-barang ribawi) dengan adanya selisih (jumlah yang berbeda) ataupun dengan tempo.
Ke-13, asas tolong-menolong (ta'awun). Karena itulah Islam menganjurkan hutang-piutang tanpa riba dengan semangat menolong yang membutuhkan. Demikian pula Islam menganjurkan kafalah, hibah, infaq, dan sedekah, dalam rangka untuk menolong yang membutuhkan. Jadi, tidak selalu kita melakukan muamalah dengan motif mencari keuntungan semata.
Ke-14, asas tidak berlebihan (mubadzir dan israaf). Bahkan terhadap harta yang halal, Islam melarang tindakan menghambur-hamburkan harta (mubadzir) ataupun berlebih-lebihan dalam yang halal.
Ke-15, asas tidak adanya monopoli dan menimbun kebutuhan banyak orang. Tindakan monopoli dan menimbun kebutuhan banyak orang pada dasarnya adalah menzhalimi orang lain, sehingga dilarang dalam Islam.
Ke-16, asas sosial. Karena itulah Islam mewajibkan zakat karena zakat adalah hak orang-orang yang membutuhkan, agar harta tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja, sehingga terjadi kesenjangan ekonomi yang amat lebar.
Ke-17, asas mendatangkan manfaat dan menolak kemadharatan/keburukan. Segala muamalah yang diperbolehkan ataupun dianjurkan oleh Islam senantiasa dengan maksud untuk mendatangkan maslahat dan menolah kemadharatan/keburukan, karena memang inilah maksud dari syariat.