Cetak

Ayat Wudhu (QS Al-Maidah : 6) :

“Yaa ayyuhalladzina aamanuu idza qumtum ilash sholati faghsiluu wujuuhakum wa aidiyakum ilal marafiq wamsahuu biru-usikum wa arjulakum ilal ka’bain”

 

ImageApakah niat merupakan syarat wudhu?

Perbedaan pendapat :

Pendapat I (Syafi’I, Malik, Ahmad, Abu Tsaur, Dawud ) : ya

Pendapat II (Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri) : tidak

Sebab perbedaan pendapat :

Para fuqaha sepakat bahwa ibadah mahdhah (ibadah yang tidak bisa dilogika) mempersyaratkan adanya niat, namun tidak untuk ibadah ghairu mahdhah (ibadah yang bisa dilogika). Dalam hal ini, para fuqaha berbeda pendapat tentang wudhu itu ibadah mahdhah ataukah ghairu mahdhah, sebab wudhu itu agak samar sifatnya antara ritual dan tindakan higienis / sanitatif.

Pendapat Sayyid Sabiq :

Niat adalah wajib dalam wudhu sebagaimana ia wajib dalam setiap amalan, sesuai dengan hadits Nabi : Innamal a’maalu bin niyyaat …

 

Apakah sikut termasuk yang wajib dibasuh?

Perbedaan pendapat :

Pendapat I (Jumhur, Malik, Syafi’I, Abu Hanifah) : ya

Pendapat II ( sebagian zhahiriyah, sebagian pengikut Malik yang belakangan, Thabari) : tidak

Sebab perbedaan pendapat :

1.      Perbedaan pendapat mengenai makna kata “ilaa” (sebagaimana disebutkan dalam Ayat Wudhu), karena “ilaa” terkadang bermakna “sampai” (ghaayah) dan terkadang bermakna “termasuk” (ma’a).

2.      Perbedaan pendapat mengenai makna “al-yad” , karena ia dipakai oleh orang Arab dengan salah satu dari tiga makna : “hand”, “dari ujung jari sampai siku”, dan “dari ujung jari sampai bahu”.

Pendapat Sayyid Sabiq :

Sikut termasuk yang wajib dibasuh. Tidak ada riwayat dari Nabi saw yang mengemukakan bahwa beliau meninggalkannya.

 

Kadar menyapu rambut

Perbedaan pendapat :

Pendapat I (Malik) : seluruh rambut wajib diusap

Pendapat II (Syafi’I, Abu Hanifah,  sebagian sahabat Malik) : hanya wajib mengusap sebagiannya

Yang dimaksud dengan sebagian ialah :

                                     -          Syafi’I : tidak ada batasan tertentu

                                     -          Abu Hanifah : sesuai dengan ukuran telapak tangan

                                     -          Sebagian sahabat Mlaik : sepertiga atau dua pertiga bagian dari kepala

Sebab perbedaan pendapat :

Para fuqaha berbeda pendapat mengenai makna kata “bi” ( sebagaimana disebutkan dalam Ayat Wudhu ) :

·          Ada yang mengatakan bahwa “bi” dalam ayat tersebut adalah “bi zaidah” yang berfungsi untuk men-ta’kid. Implikasi : pendapat I

·          Yang lain mengatakan bahwa “bi” dalam ayat tersebut adalah untuk “tab’idh” (menyatakan makna “sebagian” ). Implikasi : pendapat II

Pendapat Sayyid Sabiq :

Mengusap kepala tidaklah harus keseluruhannya. Sesuai  dengan riwayat-riwayat dari Nabi, mengusap kepala bisa dilakukan dengan tiga cara :

1.      Mengusap keseluruhannya

2.      Mengusap serbannya saja

3.      Mengusap ubun-ubun dan serban

 

Masalah jumlah basuhan dan sapuan

Para fuqaha sepakat bahwa basuhan wajib dilakukan minimal satu kali, dan sunnah jika dilakukan dua atau tiga kali.

Namun para fuqaha berbeda pendapat tentang jumlah usapan :

Pendapat I (Syafi’I) : jika ia membasuh tiga-tiga kali maka ia pun mengusap tiga-tiga kali.

Pendapat II (Jumhur) : tidak ada tuntunan untuk mengulang usapan lebih dari satu kali.

Sebab perbedaan pendapat : pertentangan antar hadits.

Pendapat Sayyid Sabiq :

Menurut riwayat yang paling banyak, mengusap kepala adalah satu kali saja.

 

Hukum menyapu dua telinga, demikian juga dengan air baru atau tidak?

Perbedaan pendapat :

Pendapat I (sebagian sahabat Malik) :

menyapu dua telinga adalah wajib (karena ia termasuk kepala), dilakukan dengan air baru.

Pendapat II ( Abu Hanifah) :

menyapu dua telinga adalah wajib, tetapi tidak dengan air baru.

Pendapat III (Syafi’I) :

menyapu dua telinga adalah sunnah, dilakukan dengan air baru.

Sebab perbedaan pendapat :

1.      Pertentangan antar hadits

2.      Pertentangan mengenai apakah dua telinga termasuk kepala ataukah tidak.

Pendapat Sayyid Sabiq :

Mengusap dua telinga adalah sunnah wudhu.

Komentar :

Dalam Silsilatul Ahadits Al-Shahihah karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani Jilid I Bagian I terdapat hadits “Dua telinga termasuk kedalam kepala”.

 

Dua kaki dibasuh ataukah disapu?

Sahabat Nabi berijma’ bahwa kedua tumit wajib dibasuh (hadits Ibnu Umar, muttafaq ‘alaih). Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai selain tumit.

Perbedaan pendapat :

Pendapat I ( jumhur) : wajib dibasuh

Pendapat II : wajibnya adalah diusap

Pendapat III : boleh pilih antara dibasuh dan diusap

Sebab perbedaan pendapat : perbedaan qira’at :

·          Qira’at I : nashb, athaf terhadap bagian yang dibasuh. Implikasi : pendapat I

·          Qira’at II : khifdh, athaf terhadap bagian yang diusap. Implikasi : pendapat II

Pendapat Sayyid Sabiq :

Dua kaki adalah dibasuh, sebagaimana tumit juga dibasuh.

 

Masalah tartib

Perbedaan pendapat :

Pendapat I :

tartib adalah sunnah

Pendapat II :

tartib adalah wajib untuk perbuatan-perbuatan yang wajib (rukun wudhu), sedangkan untuk sunnah-sunnah wudhu maka tartib adalah mustahab / sunnah.

Pendapat III :

tartib adalah wajib secara mutlaq. Artinya : melakukan perbuatan-perbuatan sunnah tidak secara urut adalah bid’ah yang tercela.

Sebab perbedaan pendapat :

·          Perbedaan pendapat mengenai makna kata “wa” (sebagaimana tersebut dalam Ayat Wudhu)

Pendapat madzhab nahwu Bashrah : “wa” tidak menunjukkan tartib

Pendapat madzhab nahwu Kufah : “wa” menunjukkan tartib

·          Perbedaan pendapat mengenai perbuatan rasulullah dalam kasus ini menunjukkan wajib ataukah sunnah.

Pendapat Sayyid Sabiq :

Tartib termasuk wajib wudhu, sesuai dengan keumuman hadits nabi saw,”Dahulukanlah apa-apa yang didahulukan oleh Allah”. Demikian pula tidak ada riwayat yang mengemukakan bahwa Nabi berwudhu dengan tidak tertib. Sementara itu, wudhu adalah ibadah. Dan dalam urusan ibadah, sikap kita adalah ittiba’.

 

Masalah muwaalaah (kontinyuitas)

Perbedaan pendapat :

Pendapat I (Malik) : muwaalaah adalah wajib dalam keadaan ingat dan mampu.

Pendapat II (Syafi’I, Abu Hanifah) : muwaalaah tidaklah wajib.

Sebab perbedaan pendapat :

·          Perbedaan pendapat mengenai makna “wa”

·          Pertentangan hadits

Pendapat Sayyid Sabiq :

Muwaalaah termasuk sunnah wudhu.

 

 

Tentang hal-hal yang membatalkan wudhu :

 

Masalah keluarnya zat-zat dari tubuh manusia

Perbedaan pendapat :

Pendapat I (Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Sufyan Tsauri, Ahmad ) :

keluarnya segala najis dari bagian tubuh yang mana saja adalah membatalkan wudhu

Pendapat II ( Sya’fi’i dan sahabat-sahabatnya ) :

keluarnya sesuatu dari dubur dan qubul adalah membatalkan wudhu.

Pendapat III ( Malik dan sahabat-sahabatnya) :

keluarnya sesuatu yang lazim dari dubur dan qubul dalam kedaan sehat adalah membatalkan wudhu.

Sebab perbedaan pendapat :

Ketika para fuqaha sepakat berdasarkan zhahir Qur’an dan Sunnah bahwa buang air besar, buang air kecil, buang angin, dan mengeluarkan madzi serta wadi adalah membatalkan wudhu, maka mereka menarik beberapa kemungkinan :

·          Kemungkinan pertama : hukum ini hanya berhubungan dengan zat-zat yang secara eksplisit disebutkan dan tidak meliputi yang lainnya. Implikasi : pendapat III

·          Kemungkinan kedua : hukum ini  berhubungan dengan zat-zat tersebut dari sisi bahwa itu semua termasuk najis yang keluar dari badan. Implikasi : pendapat I

·          Kemungkinan ketiga : hukum ini berhubungan dengan zat-zat tersebut dari sisi bahwa itu semua keluar dari dubur dan qubul. Implikasi : pendapat II

Komentar :

·          Pendapat I dan II masuk dalam bab khaashsh tetapi yang diinginkan adalah ‘aamm.

·          Pendapat III masuk dalam bab khaashsh yang diterapkan hanya pada kekhususannya.

Pendapat Sayyid Sabiq :

Diantara hal-hal yang membatalkan wudhu ialah keluarnya setiap zat dari dua jalan (dubur dan qubul) . Lalu beliau memerinci bahwa zat-zat tersebut ialah : kencing, berak, kentut, madhi, dan wadi.

 

Masalah tidur

Perbedaan pendapat :

Pendapat I :

tidur membatalkan wudhu, baik sebentar ataupun pulas.

Pendapat II :

tidur tidak membatalkan wudhu sama sekali kecuali yang bersangkutan benar-benar yakin bahwa ia telah berhadats (buang angin, buang air, keluar madzi ).

Pendapat III ( jumhur ) :

tidur yang pulas membatalkan wudhu, namun tidur yang sebentar saja (tidak sampai pulas) tidak membatalkan wudhu.

Tentang posisi tidur :

·          Malik : tidur sambil berbaring atau bersujud membatalkan wudhu, baik tidur sebentar atau lama. Tidur sambil duduk tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya itu lama.

·          Syafi’I : tidur dalam semua posisi, kecuali dalam posisi duduk, adalah membatalkan wudhu.

·          Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya : tidur yang membatalkan wudhu hanyalah tidur dalam posisi berbaring.

Sebab perbedaan pendapat :

pertentangan antar hadits :

1.Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa tidur tidak mengharuskan wudhu’

2.Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa tidur merupakan hadats

Istinbath para fuqaha :

Metode tarjih : ada dua kemungkinan antara pendapat I dan pendapat II

Metode jam’u wa taufiq : menghasilkan pendapat III

Komentar :

Menurut jumhur ushuliyyun, metode jam’u wa taufiq lebih utama daripada metode tarjih, apabila memungkinkan.

Pendapat Sayyid Sabiq :

Tidur yang membatalkan wudhu ialah tidur yang pulas, yang tidak menyisakan kesadaran, dan juga yang tidak dalam posisi duduk.

 

Masalah menyentuh wanita

Perbedaan pendapat :

Pendapat I (Syafi’iyah) :

Menyentuh tanpa penghalang, termasuk didalamnya mencium, adalah membatalkan wudhu, baik menikmati ataupun tidak menikmati.

Terkadang dibedakan antara yang menyentuh dan yang disentuh. Wudhu batal bagi yang menyentuh tetapi tidak bagi yang disentuh.

Terkadang dibedakan pula antara menyentuh isteri dan menyentuh mahram. Wudhu batal jika menyentuh isteri tetapi tidak jika menyentuh mahram.

Pendapat II (Malik dan sebagian besar sahabatnya) :

Menyentuh dengan menikmati ataupun dengan maksud menikmati, dengan penghalang atau tanpa penghalang, adalah membatalkan wudhu; kecuali mencium maka ia membatalkan wudhu meskipun tidak menikmati.

Pendapat III (Abu Hanifah) :

Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu

Sebab perbedaan pendapat : isytirak makna “lams” dalam ayat yang ada :

1.Sebagian memaknai “lams” dengan makna majazi yang berarti jima’. Mereka juga mengemukakan berbagai hadits yang mendukung :

·          Nabi menyentuh Aisyah dengan tangan saat bersujud.

·          Nabi mencium sebagian isteri beliau lalu sholat tanpa wudhu lagi.

2.Sebagian yang lain memaknai “lams” dengan makna haqiqi yang berarti menyentuh. Mereka pun mengatakan bahwa jika ada keraguan antara makna haqiqi dan makna majazi maka harus diambil makna haqiqi sampai ada dalil yang menguatkan makna majazi.

Yang mengambil makna haqiqi pun terbagi dua :
2.a.Yang memasukkannya dalam bab ‘aamm tetapi yang dimaksudkan adalah khaashsh : sehingga mempersyaratkan adanya kenikmatan saat menyentuh.
2.b.Yang memasukkannya dalam bab ‘aamm dengan maksud ‘aamm : sehingga tidak mempersyaratkan adanya kenikmatan saat menyentuh.

Komentar :

Kita gunakan kaidah : “jika ada keraguan antara makna haqiqi dan makna majazi maka harus diambil makna haqiqi sampai ada dalil yang menguatkan makna majazi”. Dalam hal ini telah ada dalil-dalil berupa hadits-hadits yang menguatkan makna majazi. Sehingga kita pilih pendapat III.

Pendapat Sayyid Sabiq :

Menyentuh wanita, meskipun tanpa penghalang, tidaklah membatalkan wudhu, karena banyaknya hadits shahih yang menyatakannya dan tidak adanya dalil shahih yang menentangnya.

 

Masalah menyentuh kemaluan

Perbedaan pendapat :

Pendapat I (Syafi’iyah, Ahmad, Dawud) :

Membatalkan wudhu bagaimanapun menyentuhnya.

Pendapat II (Hanafiyah) :

Tidak membatalkan wudhu sama sekali.

Pendapat III (Malikiyah) :

Berbeda-beda hukumnya tergantung pada bagaimana menyentuhnya.

  • Jika menyentuhnya dengan menikmati maka itu membatalkan wudhu, tetapi jika tidak maka tidak.
  • Jika menyentuhnya dengan telapak tangan maka itu membatalkan wudhu, tetapi jika tidak maka tidak (Bisa dipahami bahwa hal ini karena sentuhan dengan telapak tangan merupakan sebab adanya kenikmatan)
  • Jika menyentuhnya dengan sengaja maka itu membatalkan wudhu tetapi jika dalam keadaan lupa atau tidak sengaja maka tidak apa-apa.
  • Jika menyentuhnya secara langsung (tanpa penghalang) maka itu membatalkan wudhu, tetapi jika dengan penghalang maka tidak apa-apa.

Pendapat IV (diriwayatkan dari Malik) :

Wudhu karena menyentuh kemaluan adalah sunnah dan bukan wajib.

Sebab perbedaan pendapat : pertentangan antar hadits :

Hadits yang mewajibkan wudhu :

Dari Basrah, Rasulullah bersabda,”Jika salah seorang kalian menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudhu”. (Dishahihkan oleh Yahya ibn Mu’in, Ahmad ibn Hanbal, Ibnus Sakan, didha’ifkan oleh ahli Kufah, dan tidak pernah diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim)

Hadits yang tidak mewajibkan wudhu :

Dari Thalq ibn ‘Ali : Kami datang kepada Rasulullah dan ketika itu beliau sedang bersama seorang laki-laki yang sepertinya seorang Badui. Laki-laki itu berkata,”Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapat Anda tentang orang yang menyentuh kemaluannya setelah ia berwudhu?” Maka Rasulullah menjawab,”Bukankah kemaluan itu juga bagian dari tubuhnya?” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh banyak sekali ahli ilmu [ahli hadits] baik Kufah maupun yang lainnya).

Istinbath para fuqaha :

1.Metode tarjih / naskh :

  • Bagi yang merajihkan hadits Basrah atau menganggapnya naasikh bagi hadits Thalq, maka implikasinya : pendapat I
  • Bagi yang merajihkan hadits Thalq maka implikasinya : pendapat II

2.Metode jam’u wa taufiq :

Implikasinya : pendapat III (tergantung bagaimana menyentuhnya) atau pendapat IV (hadits Basrah menunjukkan sunnahnya wudhu sedangkan hadits Thalq menunjukkan tidak wajibnya wudhu).

Pendapat Sayyid Sabiq :

Beliau lebih condong kepada pendapat bahwa menyentuh kemaluan secara langsung (tanpa kain dsb) adalah membatalkan wudhu. Pendapat ini didapatkan dengan cara melakukan takhshish terhadap nash-nash yang bersifat ‘aamm. Namun demikian, beliau juga menyebutkan pendapat Hanafiyah bahwa menyentuh kemaluan sama sekali tidak membatalkan wudhu, tanpa memberikan komentar lebih jauh.