Apakah orang sakit dan musafir jika berpuasa di bulan Ramadhan akan mendapatkan pahala?
Pendapat pertama: tidak
Pendapat kedua: ya (Jumhur)
Sebab perbedaan pendapat: pemahaman terhadap ayat "Wa man kaana mariidhan aw 'alaa safarin fa'iddatun min ayyamin ukhar."
Pendapat pertama memahami ayat ini sebagai haqiqah, sehingga pemahamannya adalah bahwa orang yang sakit dan musafir hanya wajib berpuasa di hari-hari yang lain diluar bulan Ramadhan.
Adapun pendapat yang kedua memahami ayat ini sebagai majaz, dimana terdapat taqdir sebagai berikut: "Wa man kaana mariidhan aw 'alaa safarin [fa afthara] fa'iddatun min ayyamin ukhar." Artinya, jika seseorang sakit atau musafir kemudian berbuka (tidak berpuasa) maka barulah ia wajib mengganti di hari yang lainnya di luar bulan Ramadhan. Dalil lain yang menguatkan pendapat Jumhur adalah hadits "Kami bepergian Bersama Rasulullah saw di bulan Ramadhan, maka yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka pun tidak mencela yang berpuasa."
Pendapat Sayyid Sabiq: sama dengan Jumhur.
Manakah yang lebih afdhal bagi musafir antara berpuasa atau berbuka?
Pendapat pertama: berpuasa lebih utama (Malik dan Abu Hanifah)
Pendapat kedua: berbuka lebih utama (Ahmad dan sebagian imam lainnya)
Pendapat ketiga: tidak ada yang lebih utama, seseorang bebas memilih
Dalil pendapat pertama: berbuka adalah rukhsah, maka tidak mengambil rukhsah lebih utama.
Dalil pendapat kedua: hadits "Tidaklah termasuk kebaikan berpuasa ketika melakukan safar."
Dalil pendapat ketiga: hadits "Jika kamu ingin berpuasa maka berpuasalah, dan jika kamu ingin berbuka maka berbukalah."
Ada juga pendapat keempat sebagaimana yang dikemukakan oleh 'Umar bin Abdul Aziz: Yang lebih utama adalah yang lebih mudah bagi seseorang; jika berpuasa lebih mudah (jika dibandingkan mengganti di luar Ramadhan) maka lebih utama berpuasa, namun jika berbuka lebih mudah maka lebih utama berbuka.