Zakat profesi termasuk hasil ijtihad ulama kontemporer. Diantara para pengusung zakat ini adalah Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. Diantara konsideran munculnya ijtihad ini jika kita cermati adalah untuk memunculkan keadilan dalam hal kewajiban seorang muslim atas harta kekayaannya. Sebetulnya ijtihad lainnya seputar zakat yang memiliki konsideran serupa adalah zakat atas tanaman-tanaman ghair manshush (yang tidak disebutkan dalam nash). Dengan kata lain, ijtihad jenis-jenis zakat baru ini tidak lain dilandasi oleh maqasid syari'ah. Jangan sampai orang-orang kaya namun bentuk kekayaan mereka tidak disebutkan dalam nash tidak membayar zakat padahal orang-orang dengan penghasilan yang jauh lebih rendah, misalnya para petani tanaman pokok, malah harus membayar zakat.
Jika para petani komoditas makanan pokok yang, terutama pada hari-hari ini, hasil panennya tidak seberapa (dikarenakan tingginya harga pupuk, pestisida, dan tenaga kerja serta rendahnya harga jual hasil panen) saja harus mengeluarkan zakatnya ketika mereka memanen tanaman pokok mereka, bagaimana dengan para petani cengkeh, teh, kopi, sawit, dan sebagainya, yang tidak disebutkan dalam nash namun nilai hasil panen mereka sangat besar? Bahkan besarnya jauh melebihi nilai yang diperoleh oleh para petani tanaman pokok. Tentu tidak adil jika mereka tidak wajib mengeluarkan zakat ketika panen. Sebagian kalangan menyanggah ijtihad tanaman-tanaman ghair manshush ini, dengan berdalih bahwa hasil panen mereka toh akan berubah menjadi uang tabungan (simpanan) yang akhirnya wajib dizakati setiap tahun. Namun sebetulnya sanggahan ini juga tidak kuat, karena para petani tanaman pokok di zaman modern ini juga biasa mengubah hasil panennya menjadi uang tabungan (simpanan).
Serupa pula dengan ijtihad zakat profesi. Jika para petani tanaman pokok yang hasilnya tidak seberapa saja wajib membayar zakat ketika panen, bagaimana dengan para pegawai dan profesional yang menerima gaji secara rutin dengan nilai yang seringkali jauh lebih besar daripada yang didapatkan oleh para petani tanaman pokok? Sebagaimana diketahui, nishab zakat tanaman pokok sebagaimana disebutkan dalam nash adalah 5 wasaq = 300 sha'. Ini kurang lebih setara dengan 653 - 815 kg beras. Jika diperkirakan pada padi kering, maka itu setara dengan kurang lebih 1 ton - 1 ton 6 kwintal. Katakanlah kita anggap nishabnya adalah 800 kg beras, dan harga beras saat ini adalah Rp. 10.000,- maka nishabnya jika dirupiahkan adalah 8 juta rupiah saja. Padahal banyak pegawai dan profesional yang gajinya lebih dari 8 juta setiap bulan. Sedangkan panen tanaman biasanya hanya setiap 6 atau 4 bulan, artinya rata-rata (8*3)/12 = 2 juta per bulan atau bahkan (8*2)/12 = 1.3 juta saja per bulan.
Rasionalisasi vs scalability
Rasionalisasi yang saya sebutkan diatas menjadi sangat valid ketika skalanya tidak terlalu besar. Katakanlah jika tanaman-tanaman ghair manshush ataupun gaji bulanan itu melebihi 5 wasaq atau nilainya namun belum mencapai nishab harta/uang simpanan jika dijumlahkan dalam setahun. Artinya, dalam keadaan seperti ini, mereka belum kena zakat harta/uang simpanan namun juga tidak kena zakat apapun jika tanaman-tanaman ghair manshush dan gaji bulanan tidak perlu dizakati. Tentunya ini tidak adil dalam kacamata kewajiban seorang muslim terhadap harta kekayaan yang dimilikinya.
Namun, ketika skalanya membesar dimana nilai dari tanaman-tanaman ghair manshush dan gaji bulanan itu sangat besar sehingga dalam setahun akan terakumulasi menjadi harta/uang simpanan diatas nishab harta/uang simpanan, maka ijtihad zakat tanaman-tanaman ghair manshush dan zakat profesi akan menimbulkan konflik dengan harta/uang simpanan. Dalam keadaan seperti ini, akan muncul pertanyaan: apakah harta/uang simpanan hasil dari tanaman-tanaman ghair manshush atau gaji bulanan masih tetap perlu dizakati padahal sudah dizakati ketika panen atau diterima setiap bulan? Disini kemudian muncul perbedaan pendapat. Ust. Ahmad Sarwat pernah membahas ini disini. Intinya, ada dua pendapat. Pertama, tetap mengeluarkan zakat atas tabungannya. Kedua, sudah tidak perlu lagi menzakati uang tabungannya. Sebetulnya ada lagi pendapat ketiga, yaitu tidak perlu lagi menzakati uang tabungannya yang berasal dari penghasilan tahun itu.
Masalah konsistensi qiyas pada zakat profesi
Persoalan lain yang sering dikritisi mengenai zakat profesi adalah mengenai konsistensi qiyas. Qiyas yang dilakukan dalam ijtihad zakat profesi ada tiga macam:
Pertama, nishab dan kadar zakat sama-sama diqiyaskan pada tanaman. Ini adalah qiyas yang paling konsisten, baik dalam hal motivasi, nishab, dan kadar zakatnya. Hanya saja, ini yang paling "memberatkan" karena nishabnya paling rendah sementara kadar zakatnya paling tinggi.
Kedua, nishab dan kadar zakat sama-sama diqiyaskan pada emas. Yakni, nishabnya adalah 85 gram emas dalam hitungan setahun, dan kadar zakatnya adalah 2.5 persen sebagaimana zakat emas. Ini misalnya yang dipakai oleh BAZNAS. Qiyas ini konsisten antara nishab dan kadar zakatnya. Ini adalah qiyas yang paling "meringankan" karena nishabnya paling tinggi sedangkan kadar zakatnya paling rendah.
Ketiga, qiyas "silang", dimana nishab zakat profesi disamakan dengan nishab tanaman, namun kadar zakatnya diqiyaskan dengan emas. Kalau kita cermati, penetapan nishab zakat profesi yang disamakan dengan nishab zakat tanaman sangat masuk akal jika kita melihat motivasi dari ditetapkannya zakat ini, sebagaimana dibahas diatas. Adapun penetapan kadar zakatnya seperti didasarkan pada kemiripan jenis hartanya dengan emas. Tentu saja, uang gaji paling dekat dengan sifat emas. Dan juga, penetapan kadar zakat ini (2.5 persen) juga bersifat meringankan (taysir), jika dibandingkan dengan kadar zakat tanaman yang jauh lebih besar (5 atau 10 persen). Apalagi di zaman dimana banyak kaum muslimin yang bekerja sebagai pegawai dan profesional masih banyak yang enggan untuk membayar zakat, sehingga perlu ada fatwa yang "memotivasi" dan tidak "terlalu memberatkan". Qiyas ini bersifat pertengahan, karena nishabnya paling rendah (sehingga akan lebih banyak kaum muslimin yang akan terjaring dalam kewajiban membayar zakat profesi) namun kadar zakatnya paling rendah.
Masalah netto dan bruto dari gaji yang wajib dizakati
Masalah lain yang menimbulkan perbedaan pendapat adalah apakah netto atau bruto dari gaji bulanan itu yang wajib dizakati? Bagi yang berpendapat netto pun ada yang sekadar menguranginya dengan biaya operasional kerja (seperti biaya transportasi pulang dan pergi bekerja, biaya makan ketika bekerja, dan semacamnya) dan ada pula yang menguranginya dengan semua kebutuhan primernya, termasuk kebutuhan nafkah primer orang-orang yang ada dalam tanggungannya.
Qiyas yang konsisten dengan zakat tanaman mengarah pada bruto. Namun di sisi yang lain, banyak juga kasus dimana gaji seseorang setelah dikurangi dengan kebutuhan primernya tidak bisa mencapai nishab, sehingga bahkan yang bersangkutan bisa dimasukkan kedalam kategori mustahiq. Disinilah terjadi perbedaan pendapat antara bruto dan netto yang masing-masing memiliki argumentasi yang kelihatannya sama-sama kuat.
Masalah waktu pembayaran zakat profesi
Persoalan lain yang juga memunculkan perbedaan pendapat adalah kapan zakat profesi dibayarkan. Jika nishab zakat profesi diqiyaskan pada zakat tanaman, maka pembayaran yang lebih tepat bisa jadi adalah setiap bulan (atau setiap kali diperoleh). Namun jika nishab zakat profesi diqiyaskan pada zakat emas, maka hitungan sebetulnya hanya bisa dilakukan setelah setahun, terutama jika memakai skema netto. Karena netto yang aktual baru bisa diketahui setelah setahun. Dari sinilah kemudian muncul perbedaan pendapat mengenai kapan zakat profesi bisa dibayarkan:
Pendapat pertama, dibayarkan setiap bulan atau setiap diperoleh, diqiyaskan pada zakat tanaman.
Pendapat kedua, bisa dibayarkan setiap tahun, terutama ketika menggunakan skema netto, dimana netto gajian baru bisa dihitung setelah setahun.
Pendapat ketiga, meskipun nishab diqiyaskan pada emas, bisa juga bisa dibayarkan setiap bulan, atau istilahnya "dicicil" (ta'jil al-zakat).
Beberapa skema pembayaran ini pernah dibahas oleh K.H. Cholil Nafis disini dengan me-refer pada Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah al-Zuhaili.