Dalam Al-Qur'an, zakat sering disebut dengan dua sebutan: zakat dan shadaqah. Zakat dari sisi bahasa memiliki dua makna. Pertama, tumbuh. Kedua, suci. Allah sendiri telah menjanjikan bahwa zakat akan menumbuhkan harta seseorang. Zakat tidak akan membuat seseorang menjadi miskin. Syetanlah yang senantiasa membisiki manusia untuk tidak berzakat dengan menakut-nakutinya dengan kemiskinan. Zakat juga akan menyucikan pemiliknya dari sifat bakhil (kikir) dan menyucikan hartanya dari hak mereka yang membutuhkan. Adapun zakat juga disebut sebagai shadaqah karena ia merupakan bukti kejujuran keimanan kita. Artinya, orang yang mengaku beriman namun tidak mau mengeluarkan zakat ketika ia telah wajib zakat mesti mengevaluasi dirinya apakah ia jujur dengan keimanannya.
Zakat adalah salah satu rukun Islam. Hukumnya wajib bagi yang telah mampu dan memenuhi ketentuan-ketentuannya. Zakat secara umum bisa dibagi menjadi dua: zakat al-fithr (disebut juga zakat al-nafs) dan zakat maal. Adapun zakat maal bisa dibagi antara lain sebagai berikut.
Pertama, zakat emas dan perak. Berlaku nishab dan haul. Nishab emas adalah 20 dinar (85 gram) sedangkan nishab perak adalah 200 dirham (595 gram). Kadar zakat untuk emas dan perak setelah mencapai nishab dan haul adalah 2,5 persen dari emas atau perak yang dimiliki.
Kedua, zakat hewan ternak, yaitu unta, sapi, dan kambing (baik kambing kacang, kambing qibas, maupun kambing domba). Berlaku nishab dan haul. Nishab unta adalah 25 ekor, nishab sapi adalah 30 ekor, dan nishab kambing adalah 40 ekor. Adapun kadar zakat dari masing-masing hewan ternak tersebut jika telah mencapai nishab dan haul bisa dilihat dalam tabel-tabel yang bisa didapatkan dengan mudah dalam banyak referensi dan tulisan.
Ketiga, zakat pertanian. Tanaman yang manshush adalah gandum kasar dan kering, kurma, dan kismis (anggur yang dikeringkan). Para fuqaha berpendapat bahwa ini bisa diperluas pada segala jenis tanaman pokok yang bisa disimpan dan bisa ditakar/ditimbang seperti gandum, padi, jagung, kacang-kacangan, kurma, dan sebagainya. Pada zakat pertanian ini berlaku nishab tanpa ada haul. Dikeluarkan pada saat panen. Nishab hasil pertanian adalah 5 wasaq = 300 sha'. Ini kurang lebih setara dengan 653 - 815 kg beras. Jika diperkirakan pada padi kering, maka itu setara dengan kurang lebih 1 ton - 1 ton 6 kwintal. Adapun kadar zakatnya setelah mencapai nishab adalah sebesar 10 persen jika pertaniannya tanpa irigasi berbayar (pertanian tadah hujan) atau 5 persen jika pertaniannya menggunakan irigasi berbayar. Adapun jika pertaniannya menggabungkan air alami dan air irigasi berbayar maka sebagian fuqaha berpendapat bahwa kadar zakatnya adalah 7,5 persen.
Dalam kenyataannya saat ini, para petani dibebani biaya operasional pertanian yang cukup besar dalam merawat dan memanen tanaman. Mulai dari biaya pupuk dan biaya pestisida, biaya membajak tanah (menyewa traktor), biaya buruh saat panen, dan sebagainya. Bahkan seringkali total dari biaya-biaya ini sangat besar sehingga hasil bersih dari panen hanya tinggal sedikit. Berdasarkan kenyataan ini, banyak ahli berpendapat bahwa dalam situasi seperti ini maka perhitungan nishab dan kadar zakatnya adalah hasil panen netto, yakni hasil panen dikurangi dengan biaya-biaya operasional pertanian. Namun perlu diingat bahwa biaya irigasi tidak boleh dimasukkan dalam biaya operasional pengurang ini karena irigasi sendiri adalah faktor pengurang kadar zakat pertanian.
Keempat, zakat rikaz, yaitu harta temuan yang ditinggalkan oleh orang-orang terdahulu dan tidak bisa diketahui siapa pemiliknya. Jika itu harta peninggalan yang bisa dilacak pemiliknya maka harus diumumkan selama setahun. Rasulullah saw bersabda, "Jika engkau dapatkan pada suatu desa yang didiami orang maka umumkan ia. Dan jika engkau dapatkan pada suatu desa yang tidak dihuni orang, maka padanya dan pada rikaz itu seperlima.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang hasan). Zakat rikaz adalah 20 persen dan dikeluarkan seketika saat ditemukan.
Keempat macam zakat maal diatas adalah yang ditetapkan oleh nash secara spesifik. Namun ini tidak berarti bahwa zakat hanya dibatasi pada empat macam diatas.
Kelima, zakat perdagangan. Telah menjadi ijma' bahwa perdagangan wajib dizakati jika telah mencapai nishab dan haul. Dalam hal ini, nishab dan kadar zakatnya disamakan dengan emas. Adapun yang dimasukkan dalam perhitungan adalah: nilai aset lancar - hutang jangka pendek = nilai barang dagangan + keuntungan perdagangan - hutang jangka pendek. Ada juga yang memasukkan piutang jangka pendek kedalam aset lancar, sehingga yang dihitung adalah: nilai barang dagangan + keuntungan perdagangan + piutang jangka pendek - hutang jangka pendek. Mengapa hutang hanya dibatasi yang jangka pendek saja? Karena pedagang atau pebisnis tidak jarang mengambil hutang jangka panjang dalam jumlah yang sangat besar untuk mengembangkan bisnisnya. Jika semua hutang ini dimasukkan sebagai pengurang, bisa jadi pedagang atau berbisnis tersebut tidak wajib zakat padahal dia termasuk orang yang kaya.
Keenam, zakat uang simpanan/tabungan. Pada zaman dahulu, emas dan perak dipakai sebagai uang. Karena saat ini orang tidak lagi menggunakan emas dan perak sebagai uang, maka simpanan uang yang telah mencapai nishab dan haul juga wajib dizakati sebagaimana wajibnya zakat atas simpanan emas dan perak. Dengan demikian, nishab dan kadar zakatnya disamakan dengan nishab dan kadar zakat emas. Rasulullah saw bersabda, "“Tiadalah bagi pemilik simpanan (termasuk emas/tabungan) yang tidak menunaikan zakatnya, kecuali dibakar diatasnya di neraka jahanam” (HR. Bukhari)”.
Macam-macam zakat yang diperselisihkan
Pertama, zakat hasil pertanian selain tanaman pokok. Bagaimana dengan pertanian selain tanaman pokok, semisal pertanian cengkeh, karet, teh, kopi, kelapa sawit, rempah-rempah, buah-buahan, dan sayur-sayuran? Para fuqaha dan ahli berbeda pendapat mengenai hal ini. Sebagian fuqaha menggunakan beberapa kriteria seperti: 1) bisa disimpan (dalam waktu yang cukup lama) meskipun dengan mengeringkannya terlebih dahulu, dan 2) bisa ditakar atau ditimbang. Sebagian mempersyaratkan kedua-keduanya sementara sebagian lainnya mempersyaratkan salah satunya saja. Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa semua hasil pertanian, apapun komoditinya, wajib dizakati.
Jika kita kembali kepada maksud pensyariatan, mungkin banyak yang berpikir rasanya tidak adil jika para petani cengkeh, karet, teh, kopi, kelapa sawit, dan komoditi-komoditi pertanian lainnya yang umumnya bernilai jual tinggi justru tidak diwajibkan menzakati hasil pertaniannya tersebut. Sementara di sisi lain petani padi yang tidak seberapa harganya saja wajib menzakati padi yang dipanennya. Karena itulah, jika hasil panen dari tanaman-tanaman tersebut bisa disimpan (dalam waktu yang cukup lama) maka zakat tanaman bisa diberlakukan. Karena jika tidak, maka para petani pemilik tanaman-tanaman ini terbebas dari kewajiban zakat sedangkan nilai dari simpanan hasil panennya sangat tinggi. Adapun jika tanaman-tanaman tersebut tidak bisa disimpan (dalam waktu yang cukup lama) maka nilai jual dari hasil panen tersebut adalah uang, yang tentu kemudian masuk juga dalam harta yang wajib dizakati jika mencapai nishab dan haul.
Kedua, zakat profesi (zakat penghasilan). Banyak orang yang mendapatkan penghasilannya dari profesinya, baik itu karena mendapatkan gajian bulanan ataupun mendapatkan pendapatan sewaktu-waktu dari jasa yang ia berikan kepada klien-kliennya. Dalam hal ini, terdapat dua pendapat diantara para ahli. Pendapat pertama mengatakan bahwa zakat profesi itu ada (masyru'), sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa zakat profesi itu tidak ada (ghayr masyru').
Yang mengatakan bahwa zakat profesi itu ghayr masyru' berargumentasi bahwa cukuplah harta yang terkumpul dari profesi seseorang itu dihukumi seperti uang simpanan pada umumnya. Ia menjadi wajib dizakati jika telah mencapai nishab (yakni nishab emas) dan haul. Dalam hal ini, penghasilan dari profesi dikiaskan kepada emas, dalam hal nishab dan kadar zakatnya. Dengan kata lain, penghasilan yang terkumpul jika telah mencapai nishab dan melewati haul maka dikeluarkan zakatnya pada akhir tahun.
Adapun yang mengatakan bahwa zakat profesi itu masyru' mengqiyaskan penghasilan profesi seperti tanaman yang dipanen secara teratur, sehingga ia wajib dizakati setiap kali mendapatkannya, tanpa ada persyaratan haul. Dengan demikian, nishabnya disamakan dengan nishab zakat pertanian. Meski demikian, kebanyakan ahli mengqiyaskan kadar zakatnya dengan kadar zakat emas, yakni 2,5 persen. Artinya, qiyas yang dipakai disini adalah qiyas "silang", yakni mengqiyaskan dengan zakat pertanian dalam hal waktu dan nishab zakatnya, dan mengqiyaskan dengan zakat emas dalam hal kadar zakatnya. Jika seseorang telah membayar zakat profesi setiap bulan, maka pada akhir tahun dia tidak lagi wajib membayar zakat atas penghasilannya tersebut. Meskipun sebetulnya, ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Ust. Ahmad Sarwat pernah membahas ini disini. Intinya, ada dua pendapat. Pertama, tetap mengeluarkan zakat atas tabungannya. Kedua, sudah tidak perlu lagi menzakati uang tabungannya. Sebetulnya ada lagi pendapat ketiga, yaitu tidak perlu lagi menzakati uang tabungannya yang berasal dari penghasilan tahun itu.
Sebetulnya, selain qiyas "silang" diatas, ada dua jenis qiyas lagi yang lebih konsisten untuk menetapkan zakat profesi. Pertama, nishab dan kadar zakatnya diqiyaskan pada tanaman. Kedua, nishab dan kadar zakatnya diqiyaskan pada emas.
Mengenai zakat profesi ini juga terjadi perbedaan pendapat diantara para ahli: apakah dihitung dari penghasilan netto ataukah dari penghasilan bruto. Bagi yang berpendapat netto pun ada yang sekadar menguranginya dengan biaya operasional kerja (seperti biaya transportasi pulang dan pergi bekerja, biaya makan ketika bekerja, dan semacamnya) dan ada pula yang menguranginya dengan semua kebutuhan primernya, termasuk kebutuhan nafkah primer orang-orang yang ada dalam tanggungannya.
Pembahasan lebih terperinci mengenai zakat profesi bisa dibaca disini.