Tak sedikit orang yang belum menyadari perbedaan antara "menafsirkan" Al-Qur'an dan "membacakan tafsir" Al-Qur'an. Jika Fulan menerangkan sebagian dari isi kitab Tafsir Ibnu Katsir, maka sejatinya dia tidak sedang menafsirkan Al-Qur'an. Dia hanya sekadar membacakan tafsir yang ditulis oleh Ibnu Katsir. Semisal dengan ini adalah perbedaan antara "menetapkan hukum fiqih" dan "menyampaikan hukum-hukum fiqih yang telah ditetapkan oleh para mujtahid".
Kalau dibilang "tafsir Al-Qur'an", memang bukan pekerjaan main-main. Sekaliber Syaikh Mutawalli Sya'rawi - rahimahullah - saja, beliau menyebut kajian Al-Qur'an beliau sebagai "khawathir", bukan tafsir Al-Qur'an. Apakah itu ungkapan ketawadhu'an beliau, wallahu a'lam. Memang rasanya lebih ringan "mentadabburi" Al-Qur'an dibandingkan "menafsirkan" Al-Qur'an. Bukan hanya makna istilah "tafsir" yang bukan main-main, namun juga karena tadabbur itu dituntut atas siapa saja yang membaca Al-Qur'an. Tentu saja, kualitas dan kedalaman tadabbur bisa berbeda dari satu orang ke orang yang lainnya, tergantung pada dasar-dasar keilmuan yang dimiliki, pengalaman-pengalaman yang telah dilalui, ketajaman mata hati dan kehalusan kalbu, dst.
Ayat-ayat Al-Qur'an itu sendiri adalah sebagian dari ayat-ayat Allah. Ia adalah ayat-ayat yang terucap (al-ayat al-qawliyah). Ketika ditadabburi, akan selalu memunculkan faidah-faidah, pelajaran-pelajaran, dan hikmah-hikmah yang baru, yang sebelumnya mungkin belum kita ketahui atau belum kita sadari. Tidak lain karena Al-Qur'an adalah haq, yang tidak mengandung kebatilan dari sisi manapun juga, yang luasnya ibarat seluas samudera. Tak pernah ada habisnya.
Begitupun dengan alam semesta dan diri kita, yang merupakan ayat-ayat Allah yang tercipta (al-ayat al-kawniyah). Pengetahuan manusia mengenai ayat-ayat kawniyah kian bertambah dari waktu ke waktu, melalui kegiatan ilmiah, penelitian, dan pengkajian yang dilakukan oleh manusia. Menyibak apa yang sebelumnya belum diketahui, padahal hakikat dari pengetahuan tersebut sebetulnya telah ada semenjak pertama kali sesuatu itu diadakan oleh Allah. Dan karenanya, lebih layak disebut iktisyaf ketimbang ikhtira'. Bukan manusia yang menemukan suatu fenomena, tetapi manusianya saja yang baru berhasil mengetahuinya.
Cikal bakal dari pengetahuan manusia yang terus berkembang hingga saat ini dan yang akan datang adalah pengetahuan bapak seluruh manusia, Nabi Adam 'alaihissalam, atas semua nama-nama, setelah mendapat pengajaran dari Allah Ta'ala. Pengetahuan Nabi Adam atas seluruh nama-nama tentunya bukan hanya mengetahui nama-nama semata tanpa mengetahui obyek yang diberi nama tersebut. Pengetahuan tersebut meniscayakan pengetahuan akan hakikat obyek berikut namanya sekaligus. Bisa saja kita tahu gunung tanpa mengetahui namanya. Namun tidak mungkin kita "tahu" nama "gunung" tanpa mengetahui bagaimana gunung itu sendiri. Jika kita tidak tahu bagaimana sebuah gunung, itu artinya kita tidak tahu apa yang disebut sebagai gunung.
Pengetahuan yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi Adam merupakan karunia yang luar biasa. Bagaimana tidak? Nabi Adam bahkan menjadi lebih tahu daripada para malaikat setelah mendapatkan pengetahuan tersebut dari Allah. Berikutnya, tentu saja Nabi Adam mengajarkan tentang nama-nama tersebut kepada keluarga dan anak keturunannya. Demikianlah bahasa diajarkan dan ilmu pengetahuan ditularkan. Sampai disini kita memahami bagaimana bahasa merupakan instrumen utama dalam transfer ilmu pengetahuan. Tanpa bahasa, kita tidak bisa membayangkan bagaimana ilmu bisa diajarkan dan ditransfer kepada orang lain dengan baik. Bahasa itu sendiri dalam perkembangannya mengalami "diversifikasi" sehingga muncullah berbagai macam bahasa yang berbeda diantara umat manusia.