[Artikel ini pertama kali diterbitkan di blog pribadi penulis: https://abdurrosyid.wordpress.com/2009/07/21/salah-paham-tentang-sholat-istikharah/]

Saya pernah mendapatkan email dari seorang ‘net-buddy’ saya yang ada di Mesir. Begitu Inbox saya buka, langsung terbaca judul email tersebut: Al-Mafaahim Al-Khaathiah Haula Shalat alIstikharah. Terjemahannya ya kurang lebih seperti judul artikel ini.

Setelah link judul email tersebut saya ‘double-click’, muncullah sebuah artikel yang tidak terlalu panjang, tentunya dalam bahasa Arab. Sepertinya artikel tersebut adalah ringkasan dari sebuah buku kecil. Tertulis di bagian paling bawah artikel tersebut: ‘Oleh Syaikh Dr. Muhammad bin Abdil Aziz Al-Musnid’. Bisa ditebak, dialah sang penulis buku yang telah diringkas dalam artikel singkat tersebut.

Dalam tulisan ini, saya ingin memaparkan isi artikel tersebut, dan semoga bermanfaat bagi Anda semua. Dalam artikel tersebut, disebutkan beberapa pemahaman yang keliru mengenai sholat istikharah:

Pertama, banyak orang memahami bahwa sholat istikharah hanya disyariatkan ketika sedang bimbang atau ragu antara dua atau beberapa pilihan. Padahal ini tidak benar, sebab Rasulullah saw bersabda dalam haditsnya: “Idzaa hamma ahadukum bil amr (Apabila salah seorang kalian menginginkan suatu perkara).” Dalam hadits ini, Rasulullah menggunakan kata ‘hamma’ (menginginkan) yang merupakan satu tingkatan dibawah ‘azama’ (bertekad), dan beliau tidak mengatakan: “Jika salah seorang kalian bimbang atau ragu…”

Dengan demikian, jika seorang muslim berkeinginan untuk melakukan sesuatu, dan tidak ada dua atau beberapa pilihan dihadapannya kecuali satu pilihan saja yang ingin ia lakukan, maka hendaknya ia melakukan istikharah mengenai keinginannya untuk melakukan sesuatu tersebut. Dan jika seorang muslim berkeinginan untuk meninggalkan sesuatu, maka hendaklah ia juga melakukan istikharah mengenai keinginannya meninggalkan sesuatu tersebut. Pendek kata, yang penting adalah bagaimana seseorang terlebih dulu memiliki keinginan, baru kemudian setelah itu ia ber-istikharah mengenai keinginannya tersebut.

Oleh karena itu, jika dihadapan seseorang terdapat dua atau banyak pilihan, maka hendaknya ia terlebih dahulu – setelah bermusyawarah dengan orang-orang yang dipandang lebih paham – menentukan satu pilihan. Baru setelah itu hendaknya ia ber-istikharah atas pilihannya tersebut. Jika meninggalkan semua pilihan juga termasuk pilihan, maka itu juga sebuah pilihan, yang jika sudah diputuskan hendaknya diistikharahi. Namun ada kasus-kasus tertentu, ketika seseorang dihadapkan pada dua atau beberapa pilihan, ia harus memilih salah satu dan tidak mungkin tidak memilih sama sekali. Dalam hal ini, hendaknya ia melakukan istisyarah (berembug), lalu menetapkan satu pilihan, dan setelah itu ber-istikharah.

Kedua, banyak orang memahami bahwa istikharah hanya dilakukan untuk urusan-urusan seperti jodoh, pergi keluar pulau (atau bahkan keluar negeri), dan urusan-urusan ‘besar’ lainnya. Padahal ini tidak benar. Rasulullah saw bersabda dalam haditsnya: “Kaana yu’allimunaa al-istikharah fil umuuri kullihaa (Rasulullah saw telah mengajari kami – yakni para sahabat – untuk melakukan istikharah dalam segala urusan).” Dan Rasulullah saw tidak mengatakan: “dalam sebagian urusan” atau “dalam urusan-urusan penting”.

Kesalahpahaman ini menjadikan kebanyakan orang tidak gemar melakukan istikharah. Mereka akhirnya tidak melakukan istikaharah dalam masalah-masalah yang mereka anggap kecil, sepele, atau tidak penting.

Ketiga, kebanyakan orang memahami bahwa sholat istikharah haruslah sholat dua rakaat yang khusus (tersendiri). Padahal sebenarnya tidak demikian. Rasulullah saw bersabda dalam hadits beliau: “Falyarka’ rak’ataini min ghairil faridhah (Maka hendaklah ia sholat dua rakaat yang bukan sholat fardhu).” Kata-kata ‘dua rakaat yang bukan sholat fardhu’ bersifat umum (karena memang tidak ada pengkhususan), yang berarti meliputi pula sholat tahiyyatul masjid, sholat sunnah rawatib, sholat dhuha, sholat sunnah wudhu, sholat tahajjud, dan sholat-sholat sunnah lainnya. Meski demikian, kalau sholat dua rakaat tersebut hendak dilakukan secara khusus (tersendiri) juga tidak apa-apa.

Keempat, kebanyakan orang memahami bahwa mesti muncul perasaan lapang dada untuk melakukan apa yang kita inginkan, setelah dilaksanakannya istikharah. Ini juga tidak ada dalilnya. Karena istikharah pada dasarnya adalah ‘memasrahkan’ urusan kepada Allah, termasuk ketika seseorang kurang senang dengan urusan tersebut (sepanjang ia sudah menetapkannya sebagai pilihan). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal sesuatu itu baik bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu padahal sesuatu itu buruk bagi kalian. Dan Allah Mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 216)

Pemahaman yang keliru ini menjadikan banyak orang tetap berada dalam keadaan bingung dan bimbang terhadap pilihannya, meski ia sudah melakukan istikharah. Bahkan tidak sedikit yang telah mengulang-ulang istikharahnya, namun tidaklah bertambah pada dirinya kecuali perasaan bingung dan bimbang karena ia tidak mendapatkan kelapangan dada untuk melaksanakan pilihannya. Padahal istikharah itu sejatinya justru dilakukan untuk menghilangkan kebingungan dan kebimbangan seperti itu.

Sebagian orang juga mengatakan bahwa berhasilnya istikharah adalah jika muncul perasaan ‘plong’ (yang diartikan persetujuan dari Allah) atau perasaan ‘mengganjal’ (yang diartikan ketidaksetujuan Allah). Ini juga tidak benar, maksudnya tidak harus. Sebab, tidak sedikit orang-orang yang telah melaksanakan istikharah dengan benar namun ia sama sekali tidak merasakan apa-apa.

Yang benar adalah, dengan istikharah Allah akan memudahkan dan menyampaikan seseorang pada pilihannya (jika Allah memandang pilihan tersebut baik baginya) atau Allah memalingkan dan menjauhkan seseorang dari pilihannya (jika Allah memandang pilihan tersebut tidak baik baginya). Saya rasa, inilah pemahaman yang tepat, sesuai dengan isi doa istikharah itu sendiri. Wallahu A’lam.

Kelima, banyak orang memahami bahwa setelah seseorang melakukan istikharah, ia mesti melihat mimpi yang memberi isyarat bahwa pilihannya itu benar, atau salah. Ini tidak ada dalilnya. Yang benar, sesudah melakukan istikharah, sebaiknya seseorang langsung bergegas menunaikan pilihannya sambil ‘memasrahkan diri’ kepada Allah. Adapun jika seseorang mendapatkan mimpi yang benar, yang memberikan isyarat bahwa pilihannya itu benar, maka itu adalah karunia dan petunjuk yang datang dari Allah. Namun jika ia tidak mendapatkan mimpi, tidak selayaknya ia urung menunaikan pilihannya dengan alasan menunggu mimpi.

Inilah lima kesalahpahaman mengenai istikharah, yang tertulis dalam artikel kiriman teman saya. Selamat ber-istikharah. Semoga sukses.