Berikut ini petikan diskusi bersama Dr. Yusuf Qardhawi seputar polemik mengenai hubungan antara akal pemikiran manusia dan teks-teks syariat (naqal). Hubungan diantara keduanya sebetulnya senantiasa berlangsung di tengah-tengah umat Islam semenjak masa-masa awal dan menjadi lebih hebat lagi di masa khulafa’ rasyidun – semoga Allah meridhai mereka. Setiap kali pintu-pintu ilmu pengetahuan dan kebudayaan terbuka di dunia Islam maka disana senantiasa terjadi hubungan diantara keduanya. Permasalahan ini bertambah ketika muncul polemik mengenai hubungan antara akal dan naqal, segera setelah umat Islam berinteraksi dengan kebudayaan Yunani dan Filsafat Yunani Kuno. Akal dan naqal, ada pertentangan diantara keduanya ataukah tidak ada ?

Moderator : Kalau boleh saya akan memulai dengan pertanyaan yang barangkali agak aneh, yakni bahwasanya kata akal dan hal-hal yang berorientasi kesana dipakai secara sangat signifikan dalam sejarah pensyariatan Islam, namun tidak terlihat bahwasanya Al-Qur’an menyebut kata ini secara eksplisit dan tegas, akal, begitu. Tidak dimaksudkan dalam hal ini ungkapan-ungkapan seperti “afalaa ya’qiluun”…
Al-Qardhawi : Tidak ada satu pun agama yang menjunjung akal serta menganjurkan untuk menggunakan dan mengembangkannya sebagaimana yang dilakukan oleh Islam, terutama Al-Qur’an. Saya telah menulis sebuah buku berjudul Akal dan Ilmu dalam Al-Qur’an. Kiranya sudah cukup jika kita tahu bahwa ayat yang pertama kali diturunkan ialah “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah mnciptakan. Yang telah menciptakan manusia dari (segumpal darah) yang tergantung (dalam rahim). Bacalah dan Rabb-Mu adalah Yang Paling Mulia. Dia yang telah mengajari dengan qalam. Mengajari manusia apa yang belum ia ketahui. (QS Al-‘Alaq : 1-5). Dalam wahyu pertama tersebut, dua kali Allah memerintahkan untuk membaca. Membaca merupakan kunci dan pintu ilmu. Akal disebutkan dalam Al-Qur’an dengan bentuk yang berbeda-beda. Sebagian orang mengatakan bahwa Al-Qur’an menyebut kata-kata jadian dari akal akan tetapi tidak kata dasar akal itu sendiri. Tidak ! Sebetulnya Al-Qur’an menyebut semuanya, baik kata-kata jadiannya maupun kata dasarnya. Hanya saja, Al-Qur’an menyebutnya dengan istilah lubb, albaab, sebanyak enam belas kali pada unkapan ulul albaab atau ulil albaab. Albab sendiri berarti akal, dan bukanlah sebuah keharusan memakai kata akal itu sendiri. Pada kesempatan lain Al-Qur’an menyebutnya dengan kata al-nuhaa, sebanyak dua kali. Disamping itu disebutkan pula kata al-hijr pada ayat hal fii daalika qasamun lidzii hijr (Apakah pada yang demikian itu terdapat sumpah bagi orang yang berakal?). Jadi dzu hijr bermakna dzu aql. Segenap kata-kata jadian yang ada, ‘aqala, ya’qilu, tafakkara, yatafakkaru, unzhur, unzhuruu (afalaa yanzhuruu), itupun menunjukkan aktivitas berpikir atau aktivitas akal.
Moderator : Pertanyaan saya, jika Anda berkenan, mengapa Allah SWT… dan ketika saya memikirkan Al-Qur’an beserta lafazh-lafazhnya maka saya dapati bahwa setiap lafazhnya penuh mukjizat … mengapa Allah memilih kata al-albaab dan al-nuhaa. Mengapa Dia tidak memakai kata al-‘aql ?
Al-Qardhawi : Hal itu karena Allah ingin menunjukkan kepada kita bahwa manusia itu terdiri dari wadah dan inti (lubb), atau bentuk dan substansi. Yang dimaksud dengan wadah itu ialah jasad kita, sedangkan substansi dan inti (lubb) manusia ialah akalnya. Jadi kata ini (lubb) dipakai untuk menunjukkan sesuatu. Setiap kali Anda menyebut kata tersebut dalam Al-Qur’an maka Anda akan mengetahui mengapa kata tersebut disebut. Tidak ada kitab suci yang memerintahkan untuk berpikir dan mengamati, seperti (Katakanlah: lihatlah oleh kalian apa yang ada di langit …), (Apakah mereka tidak mengamati …), (Apakah mereka tidak melihat kekuasaan Allah atas langit dan bumi serta segala sesuatu yang Dia ciptakan), (Bagi orang-orang yang memikirkan), (Bagi orang-orang yang menggunakan akalnya), (agar kalian memikirkan), (agar kalian menggunakan akal), (Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang memiliki pandangan). Perintah tersebut dinyatakan dengan gaya yang beragam, yang mana tidak ada satu agama dan kitab suci pun yang melakukannya kecuali Al-Qur’an. Saya katakan bahwa dalam agama-agama lain serta dalam sejarah agama-agama tersebut telah muncul perseteruan yang hebat antara akal dan wahyu atau antara ilmu dan agama atau antara syariat dan hikmah, yang sering disebut sebagai antara sisi yang turun dari langit dan sisi yang bersumber dari bumi, antara yang datang dari manusia dan yang datang dari Allah. Diantara dua hal tersebut telah timbul pemisahan yang mereka katakan sebagai pemisahan antara ilmu dan agama atau perseteruan antara pikiran dan keyakinan (akidah), atau antara syariat dan hikmah (filsafat) sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rusyd. Kita mengetahui bagaimana pemisahan diantara keduanya terjadi dalam sejarah Eropa Abad Pertengahan. Hal semacam ini tidak terjadi pada kita. Kita memiliki prinsip bahwa agama (din) dibangun diatas akal. Ulama-ulama kita mengatakan,”Akal merupakan asas dari naqal”. Mengapa bisa begitu? Karena tidak bisa tidak, wahyu mesti ditetapkan dengan akal. Kenabian mesti ditetapkan dengan akal. Anda mesti mengatakan bahwa wahyu yang berasal dari Allah kepada manusia adalah mungkin secara akal dan realistis dalam pelaksanaannya. Ini semua merupakan pekerjaan akal. Akallah yang menetapkan bahwa bukanlah suatu kemustahilan apabila Allah menurunkan wahyu kepada manusia, bahwa tidaklah mustahil apabila ada hubungan antara langit dan bumi atau antara makhluk dan Penciptanya.
Moderator : Ijinkan saya memotong disini. Kita kembali ke akal. Ia merupakan dasar dari naqal. Akan tetapi substansi dari pemikiran-pemikiran agama kita ialah beriman kepada yang ghaib (tidak tampak). Sebagai contoh, kita membahas tentang Allah yang mana kita dilarang untuk menyerupakannya dengan benda apapun …
Al-Qardhawi : Yang Anda katakan itu merupakan sebuah kekeliruan. Yang demikian itu ialah agama Kristen, yang membangun iman diatas perasaan saja. Sedangkan kita punya prinsip bahwa iman itu dibangun diatas akal dan perasaan sekaligus. Manusia , sayang sekali, telah berpikir dengan pemikiran Barat sebagai orientasinya, yang mempropagandakan bahwa agama itu jauh dari akal. Itu tidak benar. Saya perlu jelaskan lagi bahwa agama dibangun diatas akal, karena dua hakikat agama –bahkan hakikat eksistensi- yang terpenting ternyata dibangun diatas akal, yakni eksistensi Allah dan iman pada kenabian. Bagaimana argumentasi kita atas eksistensi Allah? Jika Anda mengatakan kepada seseorang,”Allah Ta’ala berfirman…”. Tetapi orang itu bilang,”Aku tidak beriman terhadap firman Allah!” Dalam hal ini Anda harus memberikan argumentasi akal (rasional) kepada orang tersebut. Anda, misalnya, bisa mengambil dalil-dalil rasional dari Al-Qur’an, seperti “Apakah mereka (tuhan-tuhan berhala) itu diciptakan dari tidak ada ataukah mereka itu sang pencipta? Apakah mereka itu yang telah menciptakan langit dan bumi?” Jadi masalahnya bukan sekedar naqal (teks yang dinukilkan). Demikian juga dengan wahyu. Bagaimana wahyu ditetapkan? Ini merupakan pekerjaan akal. Para ulama mengatakan,”Penunjukan mukjizat-mukjizat kenabian merupakan penunjukan akal (rasional)”. Artinya, jika seseorang datang kepada Anda lalu berkata,”Saya adalah rasul Allah”. Apakah kita akan mempercayainya begitu saja? Ataukah kita akan berkata,”Tunjukkan tanda jika Anda memang benar-benar rasul!” Orang itu mesti menunjukkan tanda atas kerasulannya, dan tanda tersebut harus benar-benar memuaskan akal. Karena itu para ulama mengatakan bahwa jika akal rusak maka rusak pula naqal karena akallah yang akan menetapkan keimanan pada naqal. Wahyu membutuhkan akal. Jika tidak ada akal maka tidak ada naqal atau wahyu.
Moderator : Sampai disini saya punya pertanyaan. Disana ada buku-buku atau tulisan-tulisan, barangkali yang paling terkenal – karena judulnya yang barangkali sangat mencerminkan isinya – ialah Menolak Kontradiksi antara Akal dan Naqal karya Ibnu Taimiyah. Judul buku tersebut menyiratkan bahwa memang ada kemungkinan bahwa kontradiksi tersebut akan muncul. Dari asal-usulnya, apakah filsafat memiliki andil atas munculnya kontradiksi tersebut ataukah memang kontradiksi tersebut sudah tampak jelas sejak awal?
Al-Qardhawi : Ini semua terjadi setelah umat Islam bergumul dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain, yakni dengan cara mengadopsinya, baik itu kebudayaan India, Persia, dan terutama Yunani. Akibatnya setelah itu sebagian rasionalis dari kalangan umat Islam meyakini filsafat dengan keyakinan yang mendalam. Mereka berpegang pada filsafat terutama Filsafat Peripatetik Aristoteles. Mereka memeganginya sebagai prinsip sementara Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Islam mengikuti filsafat. Artinya, hal-hal yang tidak sesuai dengan filsafat mereka takwilkan sehingga menjadi sesuai. Mereka menyebut Aristoteles sebagai Guru Pertama. Mereka tidak menyebut Muhammad saw sebagai Guru Pertama akan tetapi malah memilih Aristoteles. Padahal, banyak hal yang dikemukakan oleh Aristoteles saat itu ternyata di zaman sekarang anak-anak sekolah telah mengetahuinya lebih banyak dan lebih tepat. Sebagai contoh, Aristoteles menatakan bahwa unsur itu empat yaitu air, udara, tanah, dan api. Namun setelah itu ternyata diketahui bahwa semua itu merupakan senyawa, sementara unsur berjumlah seratus sekian.