Allah Ta’ala  berfirman:

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh menuju kepada-Ku pasti akan Kutunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami (subulana)”. (QS Al-Ankabut: 69)

ImageAyat diatas menyiratkan bahwa jalan-jalan menuju perkenan Ilahi tidaklah satu saja, melainkan lebih dari satu (banyak) sebagaimana dinyatakan oleh Allah dengan penggunaan bentuk jamak subulana (dan bukan sabilana).

Permasalahan yang kemudian muncul adalah apakah yang dimaksud dengan sabil. Jawaban terhadap pertanyaan ini nantinya akan mempengaruhi definisi (batasan) kata sabil sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat diatas.

Sebetulnya kata sabil hampir semakna dengan thariqah, manhaj, maslak, dan syir’ah. Akan tetapi masing-masing kata tersebut tentu saja tetap mempunyai perbedaan antara satu dan yang lainnya, meskipun kecil. Tidak ada gunanya menciptakan lebih dari satu kata, dalam bahasa yang sama, apabila maknanya sama persis satu sama lain. Masing-masing kata diatas kurang lebih bermakna jalan, metode, atau cara.

Sebagian kaum sufi berpendapat bahwa ayat diatas bermakna bahwa Allah pasti akan menunjukkan jalan untuk mengenal-Nya  kepada setiap hamba-Nya yang menempuh jalan kesufian (suluk, thariqah) dengan  usaha yang sungguh-sungguh (mujahadah).

Terlepas dari tafsiran kaum sufi, yang jelas kata sabil dalam ayat diatas kiranya sudah cukup tepat jika diartikan sebagai metode, sebagai metafor atas kata jalan yang merupakan makna asli kata sabil. Dari sini dapat disimpulkan bahwa metode menuju perkenan Ilahi, yang tidak lain adalah beragama (tadayyun) bisa beraneka ragam (variatif), jadi tidak harus satu dan sama.

Secara hirarkis, diatas metode (sabil, thariqah,uslub) terdapat strategi (manhaj), selanjutnya diatas strategi terdapat prinsip (mabda’). Prinsip beragama adalah satu dan tidak boleh ada perbedaan. Strategi boleh bervariasi, namun variasinya tidaklah banyak, jadi sekedarnya dan seperlunya saja. Metode merupakan tataran yang mengijinkan banyak perbedaan (variasi), yang pada dasarnya merupakan sunnatullah dan fitrah manusia sendiri.

Sebagai sebuah contoh, prinsip beragama adalah tauhid. Oleh karena itu, ajaran setiap rasul Allah adalah tauhid. Namun, Allah menurunkan kepada setiap rasul tersebut strategi yang berbeda, yang dikenal dengan syariat, sesuai dengan kaum dan zamannya. Dalam konteks ini, Islam (dalam pengertian sebagai al-syari’ah al-Muhammadiyyah) merupakan suatu strategi (manhaj). Karenanya Islam merupakan kesatuan manhaj, yakni al-manhaj al-nabawiy al-Muhammadiy. Dalam Islam inilah diperbolehkan adanya variasi beragama, yang dalam hal ini masing-masing varian merupakan metode.

Variasi kecenderungan dalam beragama dipengaruhi oleh banyak hal. ‘Allamah Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan bahwa adanya kecenderungan yang berbeda-beda dalam beragama merupakan suatu hal yang wajar, karena hal itu berkaitan dengan tabiat manusia yang memang berbeda-beda dan tidak mungkin disamakan. Disamping tabiat yang merupakan karakter pembawaan sejak lahir, ada banyak hal lain yang juga turut “berpartisipasi” dalam menciptakan variasi tersebut. Latar belakang intelektual seseorang dan kondisi sosiopolitik dan sosiokultural yang melingkupinya (bi’ah) merupakan dua hal diantaranya.

Perbedaan kecenderungan akibat perbedaan tabiat dapat diamati misalnya pada perbedaan antara Musa as dan Harun as, antara Abu Bakar atau ‘Utsman di satu sisi dan Umar ibn Al-Khaththab di sisi lain, antara Husain ibn ‘Ali dan Hasan ibn ‘Ali, antara Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbas, dan sebagainya.

Beragamnya pendekatan manusia kepada Islam (ingat subul diatas) adalah suatu kewajaran karena merupakan sunnatullah. Perbedaan antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd merupakan sebuah contoh. Barangkali dalam hal filsafat (saat itu sering pula disebut sebagai al-hikmah), Al-Ghazali tidaklah secerdas Ibnu Rusyd, sehingga Al-Ghazali tidak dapat memahami filsafat sebaik pemahaman Ibnu Rusyd. Demikian pula, barangkali Ibnu Rusyd tidaklah secerdas Al-Ghazali dalam aspek sufistik, sehingga Ibnu Rusyd tidak pernah menikmati kelezatan sufisme-nya Al-Ghazali. Memang, masing-masing orang mempunyai jalannya sendiri-sendiri. Setiap orang telah diberikan oleh Allah kelebihan dan kekurangan, yang dengan itu setiap orang dituntut untuk berlomba-lomba dalam kebajikan, sesuai dengan kelebihannya masing-masing.

Contoh lain mengenai perbedaan kecenderungan akibat perbedaan latar belakang intelektual adalah adanya aliran esensial (al-maqshadiyyah) dan aliran literal (al-zhahiriyyah al-harfiyyah) dalam dunia fiqih. Aliran esensial adalah mereka yang dalam pengambilan hukum lebih condong pada esensi syariat (maqashid syar’iyyah). Sebaliknya, aliran literal adalah mereka yang, dalam hal ini, lebih condong pada makna-makna literal nash.

Perbedaan kondisi sosiokultural juga bisa menyebabkan perbedaan kecenderungan manusia dalam beragama. Aliran rasio (madrasah al-ra’y) dan aliran riwayat (madrasah al-atsar) dalam dunia fiqih telah berkembang, antara lain, akibat perbedaan sosiokultural di daerah-daerah pertumbuhannya (disamping beberapa sebab yang lain). Contoh yang lain adalah perubahan kecenderungan fiqih (dalam tataran praksis, bukan metodologis) Imam Al-Syafi’i dari madzhab lama ke madzhab baru karena kondisi sosiokultural yang berbeda antara Irak dan Mesir, dimana beliau menetap.

Kondisi sosiopolitik yang berbeda juga bisa mempengaruhi kecenderungan manusia. Watak kaum muslimin di daerah sarat perang dan konflik tentu berbeda dengan watak saudara-saudaranya di daerah yang bebas konflik. Kondisi baik dan kondisi buruk (dalam pandangan manusia) tidaklah boleh dijadikan alasan apologis atas berbagai kesalahan dan penderitaan manusia. Allah-lah yang telah menciptakan semua itu secara sengaja, untuk menguji manakah hamba-Nya yang paling baik amalannya, dalam kondisinya masing-masing. Setiap generasi telah melampaui keberhasilan dan kegagalannya. Generasi kini tidak akan ditanya oleh Allah atas amalan generasi yang lalu. Demikian pula sebaliknya. Setiap generasi mempunyai tantangannya sendiri-sendiri.

Perbedaan kecenderungan manusia dalam beragama juga bisa diamati pada fenomena taysir dan tasyaddud. Untuk bisa memahami masalah ini dengan baik, terlebih dulu kita harus memahami masalah manusia, alam, dan qadar Allah. 

Manusia dan Alam

Allah telah menciptakan dan men-taskhir (merendahkan, menundukkan) alam semesta hanya untuk manusia. Segenap isi bumi (dan alam pada umumnya) sebetulnya hanyalah diperuntukkan bagi orang-orang beriman, karena  orang-orang beriman sajalah yang mampu memakmurkan bumi  tanpa menimbulkan kerusakan, sesuai dengan maksud Allah untuk menjadikan khalifah di bumi. Oleh karena itu sebetulnya orang-orang beriman lebih berhak menikmati (lebih tepatnya memanfaatkan) karunia Allah yang tertebar di bumi daripada orang-orang yang ingkar. Apabila orang-orang beriman mampu memanfaatkan alam secara optimal, itu berarti mereka telah menjadikan segala ciptaan Allah – baik konkret maupun abstrak – tidak sia-sia.
 
Allah Telah Menciptakan Alam Menurut Timbangan-timbangannya (Qadar)

Dalam Al-Qur’an, Allah menyatakan bahwa Dia telah menciptakan segala sesuatu (kull syai’) – baik konkret maupun abstrak – dalam ukuran-ukurannya (qadar). Diantara qadar tersebut, terdapat qadar terhadap fenomena-fenomena fisik alam semesta, yang sering disebut oleh para ilmuwan sebagai Hukum Alam (Natural Law). Dengan adanya kepastian ukuran-ukuran alam itulah manusia bisa mengembangkan ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Dalam kaitannya dengan ini, Allah telah menyeru kepada manusia untuk “memperhatikan” alam semesta. Disamping itu terdapat pula qadar terhadap perjalanan sejarah manusia. Dengan memahaminya, manusia mampu melakukan analisis-analisis sosial dan melakukan rekayasa sosial. Yang lebih penting adalah agar manusia tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama seperti yang telah dilakukan oleh para pendahulunya. Untuk itulah Allah memerintahkan kepada manusia untuk menengok perjalanan sejarah umat-umat terdahulu agar bisa mengambil ibrahnya – yakni berupa pemahaman terhadap qadar perjalanan sejarah manusia. Kesemua qadar-qadar Allah tersebut terkadang juga diistilahkan dengan sunnatullah.

Setiap bentuk sunnatullah atau timbangan-timbangan yang telah ditetapkan oleh Allah tidak akan pernah berubah. Dari satu sisi, kepastian dan keteraturan ini merupakan pertanda akan adanya Sang Pengatur. Dari sisi lain, kepastian dan keteraturan ini adalah untuk kemaslahatan hidup manusia.

Sunnatullah merupakan suatu kepastian. Barangsiapa menjalani hidupnya selaras dengan sunnatullah maka dia akan selamat dan sejahtera (islam). Oleh karena itu, salah satu makna Islam adalah keselamatan dan kesejahteraan karena Islam mengajarkan kepada manusia untuk menjalani hidup selaras dengan sunnatullah, sehingga selamat dan sejahtera. Sebaliknya, barangsiapa menjalani hidupnya tidak selaras dengan sunnatullah – artinya tidak sesuai dengan timbangan-timbangan yang ada – maka dia akan celaka.

Dalam konteks beragama, Rasulullah menyatakan bahwa barangsiapa berlebih-lebihan dalam agama maka dia akan celaka (halak) – lambat ataupun cepat, disadari ataupun tidak. Hal ini tidak lain karena sikap berlebih-lebihan dalam beragama berarti penyimpangan (ketidaksesuaian) terhadap timbangan-timbangan agama yang telah ditetapkan oleh Allah. 

Berbagai Penyimpangan Terhadap Timbangan Beragama Yang Telah Ditetapkan oleh Allah

Apabila sikap berlebih-lebihan dalam beragama akan membawa kecelakaan, maka sebaliknya pun demikian. Sikap meremehkan agama juga akan membawa kecelakaan, karena sikap yang demikian juga berati menyimpang dari timbangan-timbangan yang ada.

Bentuk sikap meremehkan agama yang paling ekstrim adalah kekafiran. Dalam intensitas yang lebih rendah, sikap meremehkan agama mungkin juga dilakukan oleh seorang muslim. Sikap tattabu’ al-rukhash (memilih setiap hal yang enak-enak saja dalam agama, tanpa didasari pertimbangan yang syar’iy-‘ilmiy) merupakan salah satu bentuknya.

Bentuk sikap berlebih-lebihan dalam agama antara lain adalah bid’ah (istilahiy), yakni membuat inovasi-inovasi (tanpa tuntunan dari Nabi) dalam ibadah ritual. Bid’ah inilah yang dalam beberapa kurun yang lalu – bahkan masih tersisa sampai kini – telah menjadikan umat Islam menjadi stagnant dalam berkreasi membangun peradaban yang maju, karena terlalu sibuk mengurusi bid’ahnya. Karena itulah generasi Islam klasik telah mampu membangun peradaban yang maju – yang bahkan mengilhami dan mendasari peradaban kaum Barat saat ini – karena tidak melakukan bid’ah-bid’ah, sehingga mempunyai banyak waktu untuk berkreasi.

Apabila fenomena dan isu bid’ah sekarang ini sudah mereda, maka tidak seharusnya umat Islam bisa merasa lega. Sekarang ini barangkali telah muncul suatu kecenderungan baru dalam sikap berlebih-lebihan.

Semenjak beberapa dekade yang lalu, dunia Islam sedang diramaikan oleh isu kebangkitan Islam (al-shahwah al-Islamiyyah). Isu ini tidak saja berupa pemikiran-pemikiran, namun sudah menjelma menjadi berbagai gerakan Islam (al-harakah al-Islamiyyah) baik dalam lingkup regional-nasional maupun internasional. Karena sifat gerakan-gerakan ini adalah perubahan (taghyir) – dengan intensitas dan metode yang variatif – maka tidak heran apabila sebagian besar pendukung-pendukungnya adalah generasi muda. Ini tidak mengherankan karena generasi muda merupakan sosok-sosok yang idealis, dinamis dan amat bersemangat. Karena itulah maka gerakan-gerakan ini kemudian didukung oleh barisan para pemuda yang amat tulus, idealis, dan menggelora semangatnya, yang tersebar di berbagai negara muslim.

Syekh Yusuf Al-Qaradhawi (bersama banyak golongan tua lainnya) pernah mengatakan bahwa semangat yang menggelora dari para pemuda militan ini, pada saat yang sama, sayangnya seringkali tidak diimbangi dengan pemahaman keislaman yang memadahi (termasuk penulis sendiri), sehingga seringkali mengakibatkan kecenderungan berlebih-lebihan dalam merealisasikan Islam – namun semoga Allah membalas ketulusan mereka dan mengampuni kebelumpahaman mereka.

Fenomena ini terjadi dalam beberapa aspek agama, yang – berbeda dengan kecenderungan beberapa kurun yang lalu – juga merambah aspek-aspek sosial, disamping juga aspek ritual. Namun fenomena pada aspek ritual tidaklah dominan, karena – barangkali – umat Islam sudah sejak lama disadarkan untuk tidak banyak berselisih dalam masalah ritual, karena sudah bukan zamannya. Sebaliknya, fenomena berlebih-lebihan pada aspek sosial, kini mulai nampak. Namun, sebetulnya hal ini mudah dimaklumi karena usaha-usaha kebangkitan Islam ini baru berada pada fase-fase awalnya.

Kembali pada konsep timbangan, sebetulnya sikap berlebih-lebihan dalam aspek sosial juga akan mengarah kepada kehancuran, disadari ataupun tidak. Alasannya, karena – sebagaimana yang lalu - sesungguhnya Allah telah menciptakan timbangan-timbangan atas segala sesuatu. Apabila seseorang berlebih-lebihan dalam suatu aspek maka pada dasarnya – sadar ataupun tidak – dia telah menzhalimi (merusak) aspek yang lain. Hal ini tidak lain karena pelebihan pada satu aspek akan berarti pengurangan pada aspek yang lain, karena  Allah sudah menetapkan timbangan setiap aspek secara fixed. Argumentasi ini akan lebih mudah apabila dijelaskan secara matematis.

Sebagai contoh atas fenomena berlebih-lebihan ini adalah pemahaman atas berbagai manhaj Nabawiy dalam pengaturan masalah-masalah sosial, mulai dari sekedar masalah komunikasi, etika, budaya, sampai politik.

Apabila ada yang mengatakan – semoga Allah membalas ketulusannya - bahwa sikap berlebih-lebihan ini bukanlah permasalahan syar’i atau tidak syar’i, namun masalah kehati-hatian atau replikasi tradisi Nabi misalnya, maka yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana anggapannya tentang syariat? Apakah dia beranggapan bahwa syariat masih belum cukup dan belum tuntas untuk bisa mengatur kehidupan? Padahal Allah telah berfirman pada penghujung risalah Nabi: Al-yaum akmaltu lakum dinakum (Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian). Sungguh, syariat merupakan solusi final atas segala permasalahan kehidupan. Hanya saja yang perlu dicamkan disini adalah definisi dan materi syariat itu sendiri.

Konsep kehati-hatian (ihtiyath) dan replikasi tradisi Nabi (ittiba’ al-Nabiy) sebetulnya sudah tercakup dalam konsepsi-konsepsi syariat. Barangkali hal ini yang seringkali belum dimengerti.

Dengan mengikuti syariat maka seseorang telah menempatkan segala sesuatu pada timbangannya, sehingga tidak akan ada aspek-aspek yang dirugikan. Hanya saja yang perlu dicatat adalah bahwasanya syariat harus dilaksanakan secara integral, tidak boleh parsial. Karena, Islam sebagai solusi adalah Islam yang integral (Inilah salah satu rahasia perintah Allah kepada kepada orang-orang yang beriman agar masuk kedalam Islam secara total [kaffah]). Apabila Islam dilaksanakan secara integral dan sesuai dengan setiap timbangan yang ada, maka Islam itu sendirilah yang akan menyeimbangkan segala unsur didalamnya, menuju kebahagiaan hakiki manusia, di dunia dan di akhirat. 

Perbedaan-perbedaan Kecenderungan Yang Diperkenankan

Meskipun Islam melarang kecenderungan-kecenderungan ekstrim – baik meremehkan ataupun berlebih-lebihan – namun Islam memperkenankan adanya perbedaan kecenderungan dalam beragama yang sifatnya niscaya, karena disebabkan oleh fitrah perbedaan yang ada pada diri manusia itu sendiri, sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini.

Perbedaan kecenderungan yang diperkenankan ini meliputi taysir (berkecenderungan longgar) dan tasyaddud (berkecenderungan ketat). Taysir dan tasyaddud yang dimaksud disini adalah yang deviasinya masih dalam batas-batas yang diperbolehkan, tidak menimbulkan madharat secara eksternal maupun internal (La dharar wa la dhirar). Sebagai contoh, Ibn ‘Umar adalah sosok yang musyaddid sedangkan Ibn ‘Abbas, sebaliknya, adalah sosok yang muyassir. Sampai jaman sekarang pun, sosok-sosok seperti itu tetap ada dan akan selalu ada. Dengan kata lain, taysir dan tasyaddud disini masih dalam kerangka i’tidal, sebagaimana kita diperintahkan untuk bersikap mu’tadil (wasith, bi al-qisth).