Cetak

ImageJauh sebelum ada Magna Carta tahun 1215, sebelum Amerika mengumumkan Declaration of Independence tahun 1776, sebelum PBB mengumumkan Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, Islam semenjak awal, semenjak tahun 600-an, telah mengumandangkan seruan kebebasan, kemerdekaan, dan keadilan bagi umat manusia.

Semenjak tumbuhnya di Mekkah, Islam telah menentang penindasan masyarakat kuat terhadap masyarakat lemah. Dan ini bisa kita lihat dari banyaknya ayat-ayat keadilan sosial yang turun pada fase-fase awal Islam di Mekkah.

Dan kita semua tahu bahwa jauh sebelum berbagai bangsa menyatakan tidak pada perbudakan, jauh sebelum perbudakan dihapuskan secara total dari muka bumi, Islam telah memberikan anjuran yang kuat untuk membebaskan para budak. Bahkan banyak sekali diantara denda yang ditetapkan dalam Islam adalah berupa pembebasan budak. Dan yang demikian ini terjadi pada zaman di mana perbudakan telah sedemikian kuat di tengah-tengah masyarakat Arab ketika itu.

Kemerdekaan Individu

Islam menginginkan agar tidak ada penghambaan seorang hamba kepada hamba yang lainnya. Yang ada hanyalah penghambaan kepada Pencipta dan Penguasa Seluruh Hamba, yaitu Allah SWT. Ketika perang Qadisiyah, Sa’ad bin Abi Waqqash memerintahkan Rabi’ bin Amir untuk menghadap Rustum, panglima perang Persia. Rustum bertanya kepada Rabi’ tentang tujuan kedatangan pasukan Islam ke wilayahnya. Dengan lantang Rabi’ menjawab dan jawabannya itu dicatat dengan tinta emas oleh sejarah. ”Kami datang untuk membebaskan manusia dari penghambaan terhadap sesamanya kepada penghambaan kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Dari dunia yang sempit menuju dunia yang luas, serta dari kesewenang-wenangan kepada keadilan Islam.”

Kemerdekaan individu, menjadi pribadi yang mandiri, adalah harapan setiap orang. Karena itu Rasulullah menganjurkan sebuah doa yang hendaknya diucapkan oleh seorang muslim setiap pagi dan petang: ”Wa a’udzubika min ghalabatid dayni wa qahrir rijaal (Dan aku berlindung kepada-Mu dari jeratan hutang dan dominasi orang lain)’.

Karena itu di zaman Umar bin Khaththab, ketika Amr bin Ash, salah seorang gubernurnya, punya seorang anak yang suatu hari memukul salah seorang warganya, Umar pun berkata dengan keras kepada sang gubernur tersebut, ”Apakah engkau hendak memperbudak manusia sementara mereka dilahirkan dari rahim ibunya dalam keadaan merdeka?”

Demikian pula Ali bin Abi Thalib pernah berwasiat kepada anaknya, ”Wahai anakku, janganlah engkau menjadi hamba orang lain, karena Allah telah menjadikanmu merdeka.”

Namun kemerdekaan dan kebebasan individu yang dimaksudkan oleh Islam bukanlah kebebasan tanpa batas. Banyak manusia hari ini yang meneriakkan kebebasan individu tanpa batas, bahkan menafikan batasan-batasan dari Dzat yang telah menciptakannya, sementara mereka tidak sadar bahwa sejatinya mereka justru telah diperbudak oleh hawa nafsu mereka sendiri.

Betapa banyak manusia, bahkan di kalangan umat Islam, yang telah hanyut dalam hedonisme – menganggap kesenangan hidup sebagai hal yang paling utama dalam kehidupan. Apalagi di zaman yang penuh dengan budaya materialistis seperti saat ini. Mereka menerapkan gaya hidup yang bebas tanpa norma – tanpa mempedulikan aturan-aturan agama – atas nama kebebasan individu. Padahal sejatinya, mereka adalah orang-orang yang diperbudak oleh hawa nafsu mereka sendiri.

Allah SWT berfirman: Fa amma man taghaa – wa aatsaral hayaatad dunya – fainnal jahiima hiyal ma’waa. Wa amma man khaafa maqaama rabbihi wa nahan nafsa ’anil hawa fainnal jannata hiyal ma’wa “Barangsiapa yang melampaui batas, dan mengutamakan kesenangan dunia, maka sesungguhnya neraka adalah tempat kembalinya. Dan barangsiapa yang takut akan kebesaran Tuhannya, dan menahan dirinya dari ajakan hawa nafsu, maka sesungguhnya surga adalah tempat kembalinya.”

Kemerdekaan Ummat

Sekarang sebagai bangsa, apakah kita telah benar-benar merdeka? Apakah kita sudah terlepas dari hegemoni kekuatan asing? Apakah kita, sebagai bangsa, bisa berkata ’ya’ ketika hati kecil kita ingin mengatakan ’ya’. Apakah kita, sebagai bangsa, bisa berkata ’tidak’ ketika hati kecil kita ingin mengatakan ’tidak’? Ataukah, kita masih terpaksa harus berkata ’ya’ padahal hati kecil kita ingin mengatakan ’tidak’. Dan kita masih terpaksa harus berkata ’tidak’ padahal hati kecil kita ingin mengatakan ’ya’.

Karena itu kita harus memperkuat jati diri kita sebagai bangsa yang merdeka dan mandiri. Ini harus menjadi kesadaran bersama seluruh anak bangsa ini, baik itu para pemimpinnya maupun rakyatnya. Jika belum menjadi sebuah kesadaran bersama, pasti akan sulit untuk mewujudkannya, karena yang satu akan membangun sementara yang lain akan merobohkannya.

Kita adalah bangsa muslim terbesar di muka bumi ini. Jika kita bisa berdiri tegak sebagai umat yang kuat, maka pengaruhnya akan sangat besar terhadap dunia Islam seluruhnya. Tetapi kita sadar bahwa untuk melakukannya tidaklah mudah. Ada konspirasi-konspirasi dari luar, dan juga kendala-kendala dari dalam tubuh umat ini sendiri. Sebetulnya kita tidak usah pusing dengan konspirasi-konspirasi dari luar, sepanjang kita sebagai umat bisa lebih kuat dari mereka. Namun kenyataannya, kelemahan di tubuh umat ini masih sedemikian memprihatinkan, sehingga konspirasi-konspirasi itu bisa sedemikian telak memukul jatuh tubuh kita. Karena itu, marilah kita memperkuat diri kita sebagai umat, memperkuat persatuan diantara kita, memperkuat keimanan kita semua, karena bukan musuh yang kuat yang akan bisa mengalahkan kita, namun keadaan kita yang lemahlah yang akan membuat kita kalah.

-----------

Masih tentang kemerdekaan, setelah tadi sebagai bangsa, sekarang sebagai ummat – yang disatukan oleh ikatan aqidah melampaui batas-batas geografis – apakah kita puas telah bebas dari penjajahan sementara saudara kita di belahan bumi yang lain masih terjajah? Saudara-saudara kita di Palestina hingga detik ini masih terus berjuang untuk bisa hidup berdaulat. Demikian juga saudara-saudara kita di Iraq hingga hari ini masih berusaha untuk bisa menentukan nasib mereka sendiri. Di tempat-tempat yang lain dimana saudara-saudara kita hidup sebagai minoritas, mereka masih terus berjuang untuk bisa hidup dengan mendapatkan hak-hak mereka.

------------

Rasulullah, para sahabat, dan generasi terdahulu umat ini telah memberikan contoh dan teladan bagaimana membebaskan diri dari penghambaan terhadap sesama. Para pahlawan kita di negeri yang kita cintai ini – Tengku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Hasanuddin, dan masih banyak lagi yang lainnya – telah memberikan contoh bagaimana berkorban untuk membebaskan diri dari penghambaan kepada sesama. Kini giliran kita untuk membuktikan apakah kita bisa seperti mereka? Mereka telah pergi dengan amalan-amalan mereka, dan kini yang ada adalah kita dengan amalan-amalan kita sendiri.