Firqah-firqah Menyimpang
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
Dalam sejarah Islam, muncul beberapa firqah menyimpang, yang oleh Imam Al-Syathibi disebut sebagai Ahlul Bida' (para ahli bid'ah). Diantara firqah-firqah tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, Qadariyah. Firqah ini meyakini bahwa Allah tidak memiliki kendali atas perbuatan manusia. Bahkan menurut mereka Allah tidak mengetahui perbuatan manusia sampai perbuatan itu terjadi. Kedua, Jabriyah. Firqah ini memiliki keyakinan yang berkebalikan dari Qadariyah. Mereka meyakini bahwa Allah memaksakan perbuatan manusia, dan manusia sama-sekali tidak memiliki kehendak atas perbuatannya. Diantara kelompok yang menganut paham Jabriyah adalah Jahmiyah, yang dinisbatkan kepada Jahm ibn Shofwan. Firqah Qadariyah dan Jabriyah ini adalah kelompok-kelompok ekstrim dan menyimpang dalam permasalahan taqdir. Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki keyakinan pertengahan yang tidak ekstrim.
Ketiga, Murjiah. Firqah ini meyakini bahwa iman itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan amal perbuatan. Iman tidak bisa berkurang atau bertambah akibat amal perbuatan. Berbeda dengan Ahlus Sunnah yang meyakini bahwa iman itu berkurang dan bertambah, yakni berkurang akibat kemaksiatan dan bertambah akibat ketaatan. Firqah Murjiah bahkan meyakini bahwa dosa besar sekalipun tidak bisa mempengaruhi atau mengurangi keimanan seseorang. Dengan kata lain, iman seorang fasiq tetaplah sempurna, tidak dipengaruhi oleh kefasikannya.
Keempat, Khawarij. Firqah ini berkebalikan dengan Murjiah dalam hal kaitan antara iman dan amal perbuatan. Menurut orang-orang Khawarij, dosa besar mengeluarkan pelakunya dari keimanan. Artinya, pelaku dosa besar tidak lagi dianggap sebagai orang yang beriman, dan karenanya halal untuk diperangi atau ditumpahkan darahnya. Dengan demikian, diantara ciri-ciri utama orang-orang Khawarij adalah gampang mengkafirkan orang, yakni mengkafirkan sesama muslim. Bahkan orang-orang Khawarij ini sampai mengkafirkan sebagian sahabat Nabi hanya karena tidak sesuai dengan pemahaman mereka yang dangkal. Orang-orang Khawarij juga menganjurkan pemberontakan (khuruuj dengan mengangkat senjata) kepada penguasa muslim yang zhalim.
Kelima, Mu'tazilah. Firqah ini pada mulanya juga dikaitkan dengan penyikapan terhadap masalah dosa besar. Diceritakan bahwa suatu ketika Washil ibn Atha' ditanya oleh gurunya, Al-Hasan Al-Bashri, mengenai orang yang melakukan dosa besar. Washil pun menjawab bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir. Inilah yang kemudian dikenal sebagai "al-manzilah baynal manzilatain". Lalu ia memisahkan diri dari pengajian Al-Hasan Al-Bashri dan mengembangkan sendiri kelompokknya. Maka Al-Hasan Al-Bashri pun berkata, "I'tazala 'anna Washil, Washil telah memisahkan diri dari kita." Dengan demikian penyebutan Mu'tazilah bisa jadi karena mereka telah memisahkan diri dari pengajian Al-Hasan Al-Bashri dan bisa jadi karena mereka memisahkan diri dari Murjiah dan Khawarij (dengan membentuk kelompok ketiga).
Tadabbur Ayat Kursi: Simetri
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
Nouman Ali Khan, seorang da'i Amerika, dalam sebuah ceramahnya menjelaskan simetri pada Ayat Kursi (QS Al-Baqarah: 255). Simetri disini berupa simetri maknawi. Ayat Kursi terdiri dari 9 penggal, dimana penggal ke-1 simetris dengan penggal ke-9, penggal ke-2 simetris dengan penggal ke-8, penggal ke-3 simetris dengan penggal ke-7, penggal ke-4 simetris dengan penggal ke-6, dan bahkan dalam penggal ke-5 yang merupakan tengah-tengah ayat terdapat juga simetri makna.
Simetri penggal ke-1 dan penggal ke-9:
Penggal ke-1: ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ
Penggal ke-9: وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ
Penggal ke-1 menyebutkan dua nama Allah (yakni Al-Hayy dan Al-Qayyum), demikian pula penggal ke-9 (yakni Al-'Aliyy dan Al-'Azhim).
Penggal ke-2: لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ
Penggal ke-8: وَلَا يَـُٔودُهُۥ حِفْظُهُمَا
Penggal ke-2 menyatakan bahwa Allah tidak mengantuk dan tidak tidur. Penggal ke-8 menyatakan bahwa Allah tidak pernah lelah dalam menjaga langit dan bumi. Makna dalam kedua penggal ini serupa.
Penggal ke-3: لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ
Penggal ke-7: وَسِعَ كُرْسِيُّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ
Penggal ke-3 menyatakan bahwa Allah memiliki segala hal yang di langit dan di bumi. Ini menyatakan sifat kepemilikan dari Allah atas segala sesuatu. Penggal ke-7 menyatakan bahwa Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Ini menunjukkan kekuasaan Allah atau bahwa Allah ada Raja langit dan bumi. Kedua penggal ini menegaskan bahwa Allah ada Pemilik sekaligus Raja bagi langit dan bumi.
Syarah Hadits Arba'in Nomor 5: Tertolaknya Bid'ah
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
Hadits ini menyatakan bahwa amalan yang dibuat-buat tanpa ada tuntunannya dari Rasulullah saw tidak akan diterima oleh Allah. Jika kita kaitkan ini dengan hadits Arba'in nomor satu, maka kita dapati bahwa amalan akan diterima jika memenuhi dua syarat. Pertama, niatnya ikhlas karena Allah Ta'ala. Kedua, mengikuti tuntunan Rasulullah saw. Dalam hadits yang lain, amalan yang dibuat-buat ini disebut dengan bid'ah. Dari sisi bahasa, bid'ah artinya sesuatu yang baru. Namun secara istilahi tidak setiap yang baru bisa disebut sebagai bid'ah yang tertolak dan sesat. Suatu amalan baru bisa disebut sebagai bid'ah secara istilah jika memenuhi beberapa syarat sebagai berikut.
Pertama, amalan tersebut bersifat ta'abbudiyah. Amal perbuatan manusia atau ibadah secara umum bisa dibedakan menjadi dua: ta'abbudiyah dan ghayr ta'abbudiyah. Amal ta'abbudiyah sifatnya untuk taqarrub dan memiliki kaifiyat yang sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan sifatnya tidak bisa dilogikakan (ibadah ghayr ma'qulah) karena memang kaifiyatnya bersifat tauqifi. Contohnya adalah jumlah dan gerakan-gerakan sholat, tata cara wudhu dan tayammum, bulan diwajibkannya berpuasa (Ramadhan), waktu dan tata cara haji, dan sebagainya. Syarat pertama ini memiliki dua sifat. Pertama, sifatnya taqarrub. Kedua, sifatnya tidak bisa dilogikakan.
Kedua, amalan tersebut bersifat baru, yakni belum pernah dicontohkan atau dituntunkan oleh Rasulullah saw. Namun tidak setiap yang baru dan belum ada contohnya dari Rasulullah pastilah bid'ah, karena masih ada syarat ketiga.
Ketiga, tidak ada landasannya dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan Ijma'.
Bid'ah itu sendiri bisa dibagi menjadi beberapa jenis. Pertama, bid'ah kubra, adalah bid'ah dalam masalah aqidah. Contohnya adalah paham Khawarij, Syiah Rafidhah, Qadariyah, Jabriyah, Murjiah, dan Mu'tazilah. Imam Al-Syathibi dalam kitabnya Al-I'tisham banyak membahas tentang bid'ah jenis ini, dan menyebut para pelakunya sebagai ahlul bid'ah. Kedua, bid'ah shughra, yaitu bid'ah dalam ruang lingkup amal ibadah.
Tadabbur QS Al-Fatihah: Simetri dan Komprehensivitas
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
Diantara nama atau sebutan untuk QS Al-Fatihah adalah Al-Sab'u Al-Matsani. Disebut Al-Sab'u karena ia terdiri dari tujuh ayat. Bagi yang memasukkan basmalah kedalam surat, ayat ketujuh dimulai dari "Shirathal ladziina...". Adapun bagi yang tidak memasukkan basmalah kedalam surat, ayat ketujuh dimulai dari "Ghayril maghdhubi...". Adapun Al-Matsani dari sisi bahasa bermakna yang diulang-ulang atau yang terdiri dari dua-dua. Pertama, Al-Fatihah disebut Al-Matsani karena ia diulang-ulang dalam sholat. Kedua, Al-Fatihah disebut Al-Matsani karena surat ini terdiri dari dua-dua, atau pasangan-pasangan, baik pasangan yang sama ataupun pasangan yang berkebalikan, dan ini mencakup juga makna simetri.
Mari kita tengok simetri yang ada dalam QS Al-Fatihah.
Pertama, simetri dalam jumlah ayat dan peruntukannya. Surat ini terdiri dari tujuh ayat, dimulai dari "Alhamdulillah..." sebagai ayat pertama: 3 ayat untuk Allah (sampai "Maaliki Yaumid Diin"), 1 ayat antara Allah dan hamba-Nya ("Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin"), dan 3 ayat untuk hamba-Nya ("Ihdinash shirathal mustaqiim... sampai selesai"). Peruntukan menjadi dua ini juga diperindah dengan tujuh sebagai jumlah ayat, sehingga bisa dibagi sama menjadi dua (masing-masing tiga ayat), dengan satu ayat musytarak (shared) antara keduanya.
Kedua, simetri di ayat "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin". Sebagaimana ayat ini separuhnya untuk Allah dan separuhnya untuk hamba-Nya, maka keseimbangan diberikan dengan adanya lafazh "iyyaka" pada masing-masing paruh. Disamping memberikan keseimbangan dalam hitungan lafazh dan panjang penggalan, diulangnya lafazh "iyyaka" ini juga memberikan penegasan bahwa baik "menyembah" maupun "meminta pertolongan" dua-duanya hanya kepada Allah.
Ketiga, simetri dalam akhiran ayat dan keseimbangan makna-maknanya. Tanpa memasukkan basmalah kedalam surat, akhiran dari tiap ayat adalah sebagai berikut. Dari depan: NUN, MIM, NUN. Dari belakang: NUN, MIM, NUN. Tiga yang dari depan adalah puji-pujian untuk Allah, dengan menyebut Allah sebagai pihak ketiga. Tiga yang belakang adalah munajat hamba kepada Allah, dengan menyebut Allah sebagai mukhatab (pihak kedua, yang langsung diajak bicara).
Jika kita memasukkan basmalah kedalam ayat dan memisahkan antara "Shirathal ladziina..." dan "Ghayril maghdhubi..." maka konfigurasinya adalah sebagai berikut. Pertama, ayat kesatu dan kedua berakhiran dengan MIM dan NUN, dimana kedua ayat ini memuat sifat rahmah (ayat pertama) dan sifat kekuasaan dan kekuatan (ayat kedua), dan masing-masing ayat memuat nama Allah yang mengindikasikan uluhiyah. Artinya, Allah mesti kita sembah karena dua hal: karena sifat rahmah-Nya dan karena sifat kekuasaan dan kekuatan-Nya.
Tadabbur QS Al-Fatihah
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
Surat ini adalah induk dan sekaligus pembuka Al-Qur'an. Tadabbur ini berfokus pada penghayatan makna, yang merupakan hal yang sangat kita butuhkan karena surat ini wajib kita baca setiap kali kita sholat. Mengenai lafazh basmalah, terdapat perbedaan pendapat apakah ini termasuk dalam surat atau tidak, dan mereka yang berpendapat bahwa ia bagian dari surat pun berbeda pendapat apakah ia dibaca secara keras atau pelan dalam sholat jahr.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
Kalimat ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ bermakna bahwa segala pujian memang milik Allah, yang memang hanya untuk Allah bahkan sebelum kita memujinya. Ini berbeda dengan kalimat "AhmaduLlah, Aku memuji Allah" yang seolah-olah bermakna pujian itu baru menjadi milik Allah setelah kita mengucapkan kalimat pujian. Dengan mengucapkan ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ, kita merasa "Siapa saya kok layak memuji Allah, padahal Allah sudah terpuji sebelum mendapatkan pujian dari semua makhluq yang memujinya."
"Al-hamd" adalah pujian dengan hati dan lisan sekaligus atas sifat-sifat yang baik dan terpuji. Berbeda dengan "al-madh" yang berarti pujian dengan lisan saja. Dan "al-hamd" adalah pujian yang diberikan baik karena telah memberikan nikmat maupun secara mutlaq tanpa ada kaitannya dengan pemberian nikmat. Ini berbeda dengan "al-syukr" yang hanya terkait dengan pemberian nikmat. Adapun alif dan lam dalam kata "al-hamd" bermakna "istighraqul jins", yakni mencakup segala pujian. Artinya, segala pujian itu pada dasarnya milik Allah atau kembali kepada Allah.
Nama "Allah" berasal dari kata "Ilah". Artinya nama Allah ini mengandung makna "uluhiyah", yakni bahwa Allah adalah Dzat yang wajib disembah. Adapun "Rabbul 'Alamin" mengandung makna "rububiyah", yakni bahwa adalah Pencipta dan Pengatur alam semesta.
ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Dua nama Allah ini sama-sama menunjukkan sifat al-rahmah. Sebagian ulama mengatakan bahwa sifat al-rahmah dalam Al-Rahman mencakup semua makhluq-Nya tanpa terkecuali, termasuk mereka yang beriman maupun yang kafir, sementara sifat al-rahmah dalam Al-Rahiim hanya khusus untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan taat saja. Sebagian lagi mengatakan bahwa sifat al-rahmah dalam Al-Rahman bermakna positif, yakni memberikan kasih sayang secara positif dan bersifat umum, sedangkan sifat al-rahmah dalam Al-Rahiim artinya memberikan kasih sayang dalam bentuk menghindarkan dari hal-hal yang tidak menyenangkan, musibah, adzab, dan semacamnya. Jika digabungkan dengan pendapat sebelumnya, maknanya Allah dengan sifat Rahiim-Nya memberikan kasih sayang secara khusus kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di akhirat dan menghindarkan mereka dari adzab akhirat.
Halaman 28 dari 69